Terdengar alunan syahdu mazmur ketika aku menginjakan kaki di Pertapaan Trappist St Maria Rawaseneng, Temaggung. Kulirik arlojiku saat itu menunjukan pukul 14.45. Oh rupanya memang masih jam ibadat siang. Sesuai keterangan yang kubaca di internet, ibadat di Rawaseneng dilakukan 7 kali sehari, salah satunya pukul 14.30.
Aku pun menyapa seorang perempuan setengah baya yang duduk di depan kantor. Ia tersenyum padaku, hanya menatapku lekat-lekat, tanpa satu kata pun terucap. Aku pun tersenyum padanya. Dari pengamatanku, sepertinya ibu dengan tatapan teduh itu adalah seorang tunagrahita, dugaanku ini diperkuat dengan air liur yang menetes dari mulutnya.
Tak lama kemudian, sepasang suami istri paruh baya keluar dari kapel, Pak Hari dan Bu Wiwin. Dengan ramah, mereka menyapaku dan mengajakku menikmati snack sore, pelepas lelah perjalanan. “Puji Tuhan” pikirku, karena pas sekali dengankondisi perut yang setengah keroncongan dan tenggorokan yang kering. Pak Hari dan Bu Wiwin adalah tamu rutin pertapaan, mereka berasal dari Magelang dan sering meluangkan waktu untuk mencari kesegaran rohani di Rawasenang.
Aku pun diperkenalkan dengan Frater Amandeus, Frater Blasius dan Frater Paulus, tiga frater yang paling sering berinteraksi dengan para tamu. Frater Amandeus bertugas di bagian kamar tamu, frater blasius mengurusi stock barang pertapaan, sedangkan Frater Paulus penjaga kantin rohani di Pertapaan Rawaseneng. Selain ketiga frater tersebut, aku jarang melihat frater lainnya, kecuali pada saat ibadah (memang sebagian besar membatasi diri dengankehidupan luar).
Terkadang beberapa frater terlihat di lingkungan biara ketika sedang bekerja, ada pula yang terlihat saat mereka pulang dari perkebunan kopi, peternakan atau di rumah roti (Rawaseneng memproduksi roti sebagai salah satu sumber penghasilan). Namun kehidupan Trappist memang menitikberatkan pada kerja dan doa, sehingga membatasi bicara. Bahkan para tamu pun diminta sangat menjaga keheningan dan ketenangan, menitikberatkan hidup pada kerja dan doa, memfokuskan pikiran pada pencipta dan menginternalisasi kasih dalam setiap laku.
Bagi yang berniat melakukan refleksi diri, Rawaseneng adalah tempat yang tepat. Selain kesunyian dan kesederhanaannya, Rawaseneng juga menyediakan fasilitas yang cukup baik, misalnya kamar tamu yang apik dan rapi (setiap kamar berisi 2-3 tempat tidur), disediakan air panas untuk para tamu yang tidak kuat mandi air dingin (yes, it’s so cold, feel frizzing in early morning).
Pertapaan menyediakan makan 3x sehari dengan snack juga 3x sehari. Semua itu diperoleh hanya dengan Rp50.000 sehari. Menurut frater Amandeus, uang kamar tamu hanyalah berupa sumbangan, tidak dimaksudkan untuk komersil dan bukanlah sumber penghasilan pertapaan. Para rahib sendiri menghidupi diri dan kegiatan mereka dari hasil perkebunan dan peternakan sapi. Lewat karya ini, pertapaan Rawaseneng juga membuka banyak lapangan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Termasuk mempekerjakan masyarakat penderita cacat tubuh atau cacat mental, sehingga mereka tetap bisa berkarya dan menghidupi dirinya (ternyata ibu yang kujumpai saat tiba adalah salah satu petugas kebersihan di pertapaan)
Di belakang kawasan kapel dan penginapan, terdapat peternakan sapi yang jumlahnya ratusan. Sempat saya berbincang dengan pak Slamet, salah satu pekerja peternakan yang bekerja di sana sejak tahun 1980. Pak Slamet pernah mencoba mencari pekerjaan lain di Sumatera, sebagi buruh perkebunan sawit, tapi akhirnya memutuskan kembali. “Sama saja mbak, sana dapt banyak, keluar banyak juga. Di sini lebih tenang dan dekat keluarga” cetusnya.
Agak norak memang, tapi tak dapat dipungkiri aku senang sekali melihat sapi. Sapi yang selama ini kulihat adalah sapi yang berwarna coklat, tapi kali ini sapinya berwarna hitam putih, mirip di tipi-tipi :D. Kupandangi deretan sapi itu dengan papan-papan nama yang tergantung atas mereka. Mulai dari Sarini, melati, Lanny, Ambar, sampai Martha (ini namaku). Menurut keterangan Pak Slamet dulu Rawaseneng juga memelihara babi, tapi akhirnya tak diteruskan karena harga pakan yang semakin melonjak.
Bagi yang mencari tempat tenang, Rawaseneng bisa menjadi pilihan. Para tamu diminta sebisa mungkin mengikuti jadwal ibadah para rahib yang dilakukan 7 kali per hari. Walau sangat malas membangunkan diri di tengah sejuknya udara jam 3 subuh, tetapi melantunkan mazmur dan bermeditasi di pagi hari sangat membantu kita dalam memfokuskan pikiran. Sedikit demi sedikit, berbagai keruwetan mulai melonggar, segala sesak dan beban terasa lebih ringan, dan pikiran menjadi lebih jernih. Setidaknya hal itulah yang kualami, mungkin juga karena lantunan mazmur itu membantuku lebih berpasrah dan legowo. Membawaku pada ranah yang sangat dekat dengan Empunya hidup. Sehingga rasanya hanya “kyrie Eleison” yang bisa terucap.
Tips perjalanan:
Bila dari Jakarta, dapat menempuh Rawaseneng dengan naik bus OBL (Safari Dharma Sakti) dari terminal Rawamangun, Pulogadung atau Lebak Bulus. Saat sampai di Temanggung, bisa menghubungi supir OBL bernama Pak Yadi (085292155128), lalu minta diantar ke Rawaseneng.
Jangan lupa membawa jaket. Saat siang dan sore hari, Rawaseneng menjadi wadah curahan sinar matahari, tetapi saat malam dan subuh, semilir angin menusuk kulit dan menggodaku menyelipkan telapak tangan di ketiak (biar anget :D). Jangan lupa bawa lipgloss atau pelembab sejenis. Pengalamanku kemarin, menyisakan bibir yang kering dan pecah-pecah karena perubahan suhu yang drastic.
Bila ke sana, jangan lupa mencoba roti keju buatan Trappis Rawaseneng. Roti seharga dua ribu rupiah itu, sangat enak. Apalagi bila dinikmati saat baru matang, hm… wangi,lembut dan kejunya terasa sekali. Roti dan kopi susu adalah kemewahan bagiku, semuanya diproduksi dari hasil perkebunan dan peternakan Trappist.
Untuk pengalaman lainnya, silakan dicoba sendiri.
Atau mau pergi bareng-bareng ke sana? Yuk marii..
a long journey made by one small step, consist of happy and sad story.. sometimes I walk, sometimes I jump sometimes I stop or either run... Too many moments with beloved people around me, so I wrote small notes as epigraphy of life
Sunday, November 25, 2012
Thursday, September 20, 2012
Rawaseneng Temanggung - Hidup satu lipatan (Part One)
(ditulis sebagai catatan perjalanan dan petunjuk bagi teman-teman yang mau ziarah/ wisata rohani ke Pertapaan Trappist Rawaseneng - Temanggung)
Ini memang kali pertama aku ke Temanggung, menuju desa kecil bernama Rawaseneng.
Ini pula kali pertama aku naik kereta jarak jauh. Maklumlah aku agak trauma naik kereta, terutama karena pengalamanku yang kurang menyenangkan saat pertama kali menggunakan transportasi darat terpanjang itu.
“Memangnya kamu mau kemana?” Tanya ibuku kemarin, “Ke Jogja, ikut retreat mam, saya butuh ibadah yang lebih khusuk” Jawabku. Sengaja memang aku tak jujur padanya, maaf bukan maksud hati, tapi tak ingin membuatnya khawatir dan akhirnya menghalangi langkah untuk pergi menyepikan diri.
Ya, beberapa teman yang mendengar kata menyepikan diri, tertawa dan tak habis pikir pada keputusanku. “Ke rumah gue aje kalo mau sepi Ka” celoteh beberapa teman menggoda. Aku pun tak tahu apa yang aku cari dalam sepi itu, aku hanya butuh sebuah waktu tenang, menetralisir segala rasa dan menyusun kembali asa. Syukur kalo bisa sekaligus membersihkan jiwa dan menyegarkan sukma.
Maka pagi itu,mendungnya Jakarta mengiringi perjalananku. Dengan senyum lebar dan sedikit detak jantung was-was, aku bertolak ke stasiun Gambir. Berdasarkan info yang aku dapat dari paman Google, Temanggung dapat ditempuh dengan dua jalur, semarang atau Jogja. Aku memutuskan lewat Jogja, karena ada rumah salah satu temanku di sana, setidaknya kalau terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, aku bisa menumpang di rumahnya.
Setengah harap-harap cemas aku menunggu Taksaka pagi di stasiun Gambir. Tepat pukul 08.40 – Kereta eksekutif yang tiketnya kupesan online ini (www.kereta-api.co.id)tiba menjemput para penumpang di Stasiun Gambir. Oh ya, sekarang stasiun Gambir jauh lebih bersih dan tertib loh, bahkan untuk perjalanan jarak jauh, PT KAI menerapkan sistem check-in seperti naik pesawat, jadi penumpang lebih tertib.
Perjalananku menuju Jogja ditemani seorang mahasiswa UGM tingkat tiga, Wilman namanya. Pemuda kelahiran Pekanbaru ini menjadi teman ngobrol asik sepanjang perjalanan. Ternyata ia tertarik dan memang ingin menjadi pengajar muda saat lulus nanti, sehingga aku bisa share banyak pengalaman setahun kemarin dan tentu informasi seputar Indonesia Mengajar.
Rintik hujan pun menemani kami memasuki stasiun kota Santri, Cirebon pada pukul 11.00 dan terus berlanjut hingga aku terlelap. Aku baru terjaga ketika kereta memasuki stasiun Purwokerto. Ramai pedagang asongan yg meneriakan “gethuk goreng mbak” mengusik diriku yang terbukus jaket merah marun. Aku kembali menatap jemdela, menikmati hamparan hijau dari balik jendela yang besisakan titik hujan.
Walupun sedikit molor dari jadwal, akhirnya keretaku tiba dengan apiknya di stasiun Tugu-Jogjakarta. Aku senang sekali, seperti bocah yang mendapat mainan pertamanya. Sengaja aku jalan lambat-lambat, menikmati dan meneliti setiap sudut stasiun itu. Ya, ciri khas orang Jogja adalah memberi petunjuk jalan sesuai arah mata angin. Sayangnya kemampuan spasialku termasuk di bawah rata-rata, jadi aku ga mudeng saat salah satu Bapak memberiku petunjuk pintu keluar Selatan. Aku pun lebih memilih cara Dora, yaitu MENJELAJAH.
Dijemput oleh Kakak temanku, aku pun beristirahat semalam di rumahnya yang hangat. Keesokan siangnya, diantar oleh keluarga kecil yang ramah itu, aku menuju shuttle bus Joglo Semar. Dengan membayar tiket 50.000 aku mengikuti minibus jurusan purwokerto yang berangkat pukul 12.30 itu, dan minta diturunkan di pertigaan Maron – Kandangan.
Saking cemasnya, aku berusaha sekuat tenaga menghafal nama-nama jalan yang kulalui. Setelah melewati Magelang, minibus itu melewati jalan Kranggan, Suwandi Suwardi, Sudirman, S.Parman – sampai akhirnya belok ke kanan di pertigaan pertama setelah melewati pasar Kliwon. Sejak belokan tadi,nama jalan berganti menjadi Jln Diponegoro. Busku terus melaju melewati beberapa lampu merah dan melewati RSUD Temanggung, hingga akhirnya Pak supir menurunkanku di sebuah pertigaan. “Ke arah sana mbak” Sambil menunjuk jalan di sebelah kananku. Setelah berterima kasih pun, aku menyebrang jalan menuju sebuah kios di sudut jalan. Sambil membeli samphoo sachet, aku bertanya pada ibu penjaga kios, angkot mana yang menuju Rawaseneng. Denganbahasa Jawanya pun, ia memanggil salah satu kenek disana, dan aku diarahkan pada angkot merah bernomor 03.
“Astojim” desahku dalam hati. Angkot kecil itu sudah full penumpang, tapi aku tetap saja dijejalkan di kursi depan bersama dua murid SMA lainnya. Baru kali ini aku naik angkot yang penumpang depannya 4 org (termasuk pak supir). Namun itu jauh lebih baik, daripada di bangku belakang yang entah berapa jumlahnya penumpangnya, belum lagi ada 6 orang lainnya yg bergelantungan di pintu angkot. Rasanya kalau ikut lomba masuk mobil – yang diadakan salah satu producer mobil beberapa tahun silam- angkot ini akan juara satu.
Angkot yang setengah doyong ke kiri itu pun melewati jalan Kandangan yang panjang dan berhiaskan tanaman tembakau di sisi kiri kanannya. Angkot itu sebenarnya hanya sampai di pertigaan Tugu Rawasenang dengan ongkos 5000, tapi pak supir menawarkan mengantarkan sampai pertapaan dengan menambah Rp 20.000 lagi. Aku pun setuju. Hmm… tenyata tertipu aku. Pertapaan Rawa Seneng tak begitu jauh dari sana, rasanya jalan kaki pun mungkin, apalagi jalan yang menurun itu, membuat kita tak begitu lelah melewatinya (at least untukku yang terbiasa mengelilingi Siboru- kampung tercinta). Namun, ya sudahlah, rejekinya om supir pikirku.
Aku pun mengucapakan terima kasih sembari melangkahkan kakiku keluar angkot. Terik mentari sore menyapaku, dibarengi hembusan angin, yang membuat bagian punggung batikku sedikit lebih kering. Mataku pun tertuju pada seorang perempuan muda yang duduk di kursi depan kantor, ia mengenakan kaos kuning, rok biru, rambutnya sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Ia menatapku sambil meremas-remas tangannya sendiri. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam. Beliau pun kembali tersenyum, pada saat yang sama air liurnya jatuh menetes ke lantai…..
Ini memang kali pertama aku ke Temanggung, menuju desa kecil bernama Rawaseneng.
Ini pula kali pertama aku naik kereta jarak jauh. Maklumlah aku agak trauma naik kereta, terutama karena pengalamanku yang kurang menyenangkan saat pertama kali menggunakan transportasi darat terpanjang itu.
“Memangnya kamu mau kemana?” Tanya ibuku kemarin, “Ke Jogja, ikut retreat mam, saya butuh ibadah yang lebih khusuk” Jawabku. Sengaja memang aku tak jujur padanya, maaf bukan maksud hati, tapi tak ingin membuatnya khawatir dan akhirnya menghalangi langkah untuk pergi menyepikan diri.
Ya, beberapa teman yang mendengar kata menyepikan diri, tertawa dan tak habis pikir pada keputusanku. “Ke rumah gue aje kalo mau sepi Ka” celoteh beberapa teman menggoda. Aku pun tak tahu apa yang aku cari dalam sepi itu, aku hanya butuh sebuah waktu tenang, menetralisir segala rasa dan menyusun kembali asa. Syukur kalo bisa sekaligus membersihkan jiwa dan menyegarkan sukma.
Maka pagi itu,mendungnya Jakarta mengiringi perjalananku. Dengan senyum lebar dan sedikit detak jantung was-was, aku bertolak ke stasiun Gambir. Berdasarkan info yang aku dapat dari paman Google, Temanggung dapat ditempuh dengan dua jalur, semarang atau Jogja. Aku memutuskan lewat Jogja, karena ada rumah salah satu temanku di sana, setidaknya kalau terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, aku bisa menumpang di rumahnya.
Setengah harap-harap cemas aku menunggu Taksaka pagi di stasiun Gambir. Tepat pukul 08.40 – Kereta eksekutif yang tiketnya kupesan online ini (www.kereta-api.co.id)tiba menjemput para penumpang di Stasiun Gambir. Oh ya, sekarang stasiun Gambir jauh lebih bersih dan tertib loh, bahkan untuk perjalanan jarak jauh, PT KAI menerapkan sistem check-in seperti naik pesawat, jadi penumpang lebih tertib.
Perjalananku menuju Jogja ditemani seorang mahasiswa UGM tingkat tiga, Wilman namanya. Pemuda kelahiran Pekanbaru ini menjadi teman ngobrol asik sepanjang perjalanan. Ternyata ia tertarik dan memang ingin menjadi pengajar muda saat lulus nanti, sehingga aku bisa share banyak pengalaman setahun kemarin dan tentu informasi seputar Indonesia Mengajar.
Rintik hujan pun menemani kami memasuki stasiun kota Santri, Cirebon pada pukul 11.00 dan terus berlanjut hingga aku terlelap. Aku baru terjaga ketika kereta memasuki stasiun Purwokerto. Ramai pedagang asongan yg meneriakan “gethuk goreng mbak” mengusik diriku yang terbukus jaket merah marun. Aku kembali menatap jemdela, menikmati hamparan hijau dari balik jendela yang besisakan titik hujan.
Walupun sedikit molor dari jadwal, akhirnya keretaku tiba dengan apiknya di stasiun Tugu-Jogjakarta. Aku senang sekali, seperti bocah yang mendapat mainan pertamanya. Sengaja aku jalan lambat-lambat, menikmati dan meneliti setiap sudut stasiun itu. Ya, ciri khas orang Jogja adalah memberi petunjuk jalan sesuai arah mata angin. Sayangnya kemampuan spasialku termasuk di bawah rata-rata, jadi aku ga mudeng saat salah satu Bapak memberiku petunjuk pintu keluar Selatan. Aku pun lebih memilih cara Dora, yaitu MENJELAJAH.
Dijemput oleh Kakak temanku, aku pun beristirahat semalam di rumahnya yang hangat. Keesokan siangnya, diantar oleh keluarga kecil yang ramah itu, aku menuju shuttle bus Joglo Semar. Dengan membayar tiket 50.000 aku mengikuti minibus jurusan purwokerto yang berangkat pukul 12.30 itu, dan minta diturunkan di pertigaan Maron – Kandangan.
Saking cemasnya, aku berusaha sekuat tenaga menghafal nama-nama jalan yang kulalui. Setelah melewati Magelang, minibus itu melewati jalan Kranggan, Suwandi Suwardi, Sudirman, S.Parman – sampai akhirnya belok ke kanan di pertigaan pertama setelah melewati pasar Kliwon. Sejak belokan tadi,nama jalan berganti menjadi Jln Diponegoro. Busku terus melaju melewati beberapa lampu merah dan melewati RSUD Temanggung, hingga akhirnya Pak supir menurunkanku di sebuah pertigaan. “Ke arah sana mbak” Sambil menunjuk jalan di sebelah kananku. Setelah berterima kasih pun, aku menyebrang jalan menuju sebuah kios di sudut jalan. Sambil membeli samphoo sachet, aku bertanya pada ibu penjaga kios, angkot mana yang menuju Rawaseneng. Denganbahasa Jawanya pun, ia memanggil salah satu kenek disana, dan aku diarahkan pada angkot merah bernomor 03.
“Astojim” desahku dalam hati. Angkot kecil itu sudah full penumpang, tapi aku tetap saja dijejalkan di kursi depan bersama dua murid SMA lainnya. Baru kali ini aku naik angkot yang penumpang depannya 4 org (termasuk pak supir). Namun itu jauh lebih baik, daripada di bangku belakang yang entah berapa jumlahnya penumpangnya, belum lagi ada 6 orang lainnya yg bergelantungan di pintu angkot. Rasanya kalau ikut lomba masuk mobil – yang diadakan salah satu producer mobil beberapa tahun silam- angkot ini akan juara satu.
Angkot yang setengah doyong ke kiri itu pun melewati jalan Kandangan yang panjang dan berhiaskan tanaman tembakau di sisi kiri kanannya. Angkot itu sebenarnya hanya sampai di pertigaan Tugu Rawasenang dengan ongkos 5000, tapi pak supir menawarkan mengantarkan sampai pertapaan dengan menambah Rp 20.000 lagi. Aku pun setuju. Hmm… tenyata tertipu aku. Pertapaan Rawa Seneng tak begitu jauh dari sana, rasanya jalan kaki pun mungkin, apalagi jalan yang menurun itu, membuat kita tak begitu lelah melewatinya (at least untukku yang terbiasa mengelilingi Siboru- kampung tercinta). Namun, ya sudahlah, rejekinya om supir pikirku.
Aku pun mengucapakan terima kasih sembari melangkahkan kakiku keluar angkot. Terik mentari sore menyapaku, dibarengi hembusan angin, yang membuat bagian punggung batikku sedikit lebih kering. Mataku pun tertuju pada seorang perempuan muda yang duduk di kursi depan kantor, ia mengenakan kaos kuning, rok biru, rambutnya sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Ia menatapku sambil meremas-remas tangannya sendiri. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam. Beliau pun kembali tersenyum, pada saat yang sama air liurnya jatuh menetes ke lantai…..
Labels:
Journey,
Pengalaman,
Rohani
Location: Jakarta
Temanggung Regency, Indonesia
Friday, August 17, 2012
Penyala, Secercah Cahaya Untuk Bangsa
“Bila ada banyak jalan ke Roma, banyak pula cara mencerdasakan Nusa"
Sabtu, 11 Agustus 2012.
Sepeda motor yang membawaku dari halte Ratu plaza berhenti di depan kantor Indonesia Mengajar tepat pukul 14.20. Terlihat beberapa orang berpakaian cukup necis sibuk mengangkut dan memilah-milah buku. Rumah nomor 4 itu pun dipenuhi suasana sibuk nan semangat. “Assalamualaikum” sapaku seraya melangkah ke dalam. Senyum Nisa PM 1 menyambutku yang agak ribet dengan gerombolan barang bawaan di tangan.
Selesai meletakan barang bawaan, aku pun segera bergegas menuju garasi yang sudah digunungi buku-buku berbagai jenis dan judul. Sebenarnya aku pun sedikit canggung karena belum mengenal orang-orang ini. Ya, meskipun aku pengajar muda, tetapi aku belum pernah bertatap langsung dengan para penyala, para pahlawan yang bekerja menyuport kami di daerah. Maklumlah baru saja hitungan minggu kami tiba di Jakarta. Istimewanya acara packing buku kali ini, selain diikuti penyala tetap, beberapa PM1 dan PM2, juga diikuti teman-teman dari Astra International (correct me if I’m wrong buddy).
Buku pelajaran, buku pengetahuan, buku cerita, bank soal-soal, majalah,komik dan berbagai buku lainnya tumpah ruah minta dipilah. Ketika asiknya aku menyortir majalah, tiba-tiba seorang bocah melompat di depanku. Bocah putih keriwil yang nampak sibuk ngoceh mencari perhatian orang dewasa di sekelilingnya. Tergoda aku untuk bertanya, “Halo, siapa nih namanya?” tanyaku seraya mengulurkan tangan “Benten!!” jawabnya tegas sambil menunjukan jam tangan hijau di pergelangan tangan kanannya. Aku pun tersenyum menjawab “Oh Benten, lagi bantu ayah ya?” “Bukan ayah” jawabnya sambil melengos pergi. Ternyata si “Benten” adalah anak dari salah satu teman-teman Astra yang membantu packing penyala hari itu.
Kami pun bekerja dengan sibuknya, memilah dan membagi buku dengan adilnya. Kali ini buku yang kami packing akan dikirim untuk teman-teman PM 3 di 5 kabupaten penempatan pertama (Bengkalis, Tulang Bawang Barat, Paser, Majene, Halmahera Selatan) ditambah dengan kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim daerah penempatan PM 2 setelah dipindahkan dari Aceh Utara karena alasan keamanan. Buku-buku itu pun dimasukan dalam 7 kardus besar yang dibungkus rapi dengan kantong plastic hitam. Asiknya kami bekerja ditambah celoteh dan gerak gerik si Benten yang mengocok perut, membuat hari pun cepat berlalu. Adzan Magrib pun berkumandang, menggiring kami bercengkrama sambil berbuka.
Ya, memanglah sederhana. Bukan memindahkan gunung atau mengeringkan lautan. Bukan pula menerjang peluru atau menyerang dengan bambu runcing. Namun, semoga usaha dan kerja kita di bulan puasa ini, jadi hadiah bermakna bagi Indonesia Raya, Negeri kita. Selamat ulang tahun tanah airku, Indonesia-ku yang berlangit biru.
Terima kasih Penyala, terima kasih teman-teman Astra.
Thursday, August 09, 2012
Aku Ada
Ada yang bilang bahwa lagu adalah melodi jiwa, ada pula yang berkata bahwa dengan bernyanyi sama powerful-nya dengan lima kali berdoa.
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Tuesday, August 07, 2012
May God always be with Mei
Rindu memang bisa menyesakan dada, membuat air mata berlinang dan membuat pikiran tak karuan.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Friday, August 03, 2012
Titik Heran Pertama
“Mati, harus ngomong apa yah gue? Kalo ntar bahasa Inggrisnya salah, gimana nih? Orang hebat semua pula. Duh bisa ga yah gue?” tanyaku dalam hati seraya menerima kertas “corat-coret” dari bu Evi. External Relation manager Indonesia Mengajar yang cantik itu baru saja memintaku menggantikan Putri sebagai MC dan Moderator diskusi ini.
Ya, Katanya diskusi santai bersama para Global Shapers dari World Economic Forum. Namun, sulit rasanya menyantaikan diri di Ballroom hotel bintang lima ini, terlebih membaca profil para speakers yang berkompetensi luar biasa, World Class Leader kalau kata Pak Anies.
Waktuku 15 menit untuk mempersiapkan diri. Memang ini bukan kali pertamaku menjadi MC. Namun, biasanya hanyalah MC ulang tahun sepupuh, ulang tahun nenek, atau acara gereja. Tidak pernah yang seserius ini. Terlebih diriku bukan Ika yang dulu. 3 tahun terakhir, aku lebih menikmati pekerjaan di belakang layar. Entah kemana hilangnya kepercayaan diriku itu, entah kemana perginya hasrat untuk menjadi pusat perhatian itu. AKu bukan lagi gadis kecil yang sangat bersemangat memberikan pidato pembukaan MOS SMA, bukan lagi perempuan yang gigih memperjuangkan pendapatnya, walau harus berteriak sekalipun. Tidak, aku tak suka sosok itu lagi!
Maka itu, pekerjaan MC dan moderator sederhana seperti ini pun merupakan satu titik heran baru bagiku. Beranikah aku? Show must go on, jemariku dingin dan suaraku bergetar, aku memilih mengungkapkan semua rasa nervous-ku ke audience, membungkusnya dengan humor semampuku. Otakku berfikir keras mencari bahan pertanyaan dan guyonan, sementara dua bola mataku menatap 5 speaker yang bergantian berbicara. Untunglah di akhir acara semua terhibur, malah beberapa dari mereka menyukainya dan menyebutku Ika Winfrey.
Ternyata aku mampu. Ternyata berada di panggung itu tak semenakutkan yang kukira. Ternyata berbicara di depan itu enak juga (^_^). Ini adalah sebuah satu titik heran bagiku, dimana malam ini aku berhasil mengalahkan ketakutanku.
Nah teman, mungkin beberapa dari kalian pun pernah merasakan hal ini, takut dan tak mampu. Tapi, tak ada salahnya dicoba, kalau enak silahkan lanjutkan dan Kalau tidak, yah hentikan saja dan teruslah berjalan. We never know before we try.
Teruslah berani, teruslah mengeksplor diri.
Friday, March 09, 2012
AN IDEAL FUTURE HUSBAND ???
“Dhit, tadi udah baca email dari pak Hikmat? Bb-ku ketinggalan nih”
“udah.. oh itu tentang undeployment”
DEG…DEG… mendengar kata itu hatiku mencelos, my heart just beat slower.
UNDEPLOYMENT sesuatu yang harus terjadi cepat atau lambat, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, rela atau tidak rela.
Indonesia Mengajar… suatu gerakan yang membuatku jatuh cinta pada sebuah pengabdian. Suatu gerakan yang membuatku ketagihan hidup di pedesaan, memeratakan pendidikan. Sepanjang jalan Fakfak menuju Offie aku pun mulai berkhayal. Apa yang akan kulakukan selesai IM? Tak ingin aku kembali pada ramainya Jakarta, Hectic-nya ibukota dan melakukan pekerjaan yang membuatku merasa lelah tanpa berguna. Bila kuboleh meminta aku ingin terus bekerja untuk anak-anak, ingin terus mendidik dan memajukan cakrawala anak bangsa. Walau peluh dan kesabaran seringkali terkuras tapi ku tahu I do something right.
YA sudah lakukan saja!! Begitulah hati kecilku menjawab tanpa logika. Lalu kata-kata itu terusik oleh pikiran lain, bahwa aku juga harus realistis, berpikir sedikit kapitalis untuk memenuhi kebutuhan hidupku, membahagiakan orang tuaku. Sampai kapan aku mau menumpang di rumah orang tuaku?
Kegalauan ini pun beranjak lebih jauh…bagaimana caranya memenuhi idealisme tapi tetap berpijak pada realita?
AHA… aku menemukan suatu ide, bagaimana kalau aku cari suami saja… biar suamiku yang menafkai dan aku akan terus bekerja sebagai relawan pendidikan?? Sounds good….
Tapi… kalau dipikir-pikir lagi… it’s not good. Terlalu picik dan egois… kasihan yang jadi suamiku bila ia harus bekerja untuk kami dan aku hanya memenuhi impianku saja. Pasti akan terjadi konflik antara kami… dan aku tidak tega melakukan hal itu, he must be someone who loves me much so he want to sacrifice for us.
NO NO NO it’s not a good idea
Lalu munculah Ide kedua…
AHA bagaimana kalao cari suaminya sama-sama pecinta pendidikan dan punya visi yang sama sebagai sukarelawan pendidikan. It sound perfect, kami akan sama-sama bekerja dan mencintai proses memajukan kapasitas anak bangsa.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi oh NO NO NO, kalau kami berdua sukarelawan pendidikan maka kami akan hidup melarat…. Kami berdua akan sama miskinnya… lalu anak-anak kami mau dikasih makan apa? Bagaimana memenuhi biaya sekolah dan kebutuhan mereka??
Again… it’s not a big idea.
Fiuh…. Lalu bagaimana dong???
Oh bagaimna bila aku cari “raja minyak” baik hati yang mau menikah denganku. Sehingga ia bisa membiayaiku membangun sekolah untuk kaum tak mampu…. Yeah it’s great idea..
BUT THE PROBLEM IS…. Raja minyak mana yang mau nikah sama GUE???
Seorang guru dengan bonus talenta pembantu rumah tangga handal….
Hua….. ide ketiga ini pun bukan ide yang baik…
Lalu bagaimana caranya??............akhirnya lamunanku dibuyarkan dengan berhentinya angkot yang kutumpangi di depan rumah Adhiti. Aku pun menyimpan ide-ide gila itu di benakku dan akan kuteruskan suatu saat nanti, saat kupunya waktu senggang untuk mengunjungi alam bawah sadarku.
Thursday, February 02, 2012
Naik Pangkat Jadi Ibu
Karena satu dan lain hal, aku berpindah tempat tinggal di kampung siboru. Saat ini aku menempati rumah dinas guru yang terletak tepat di sebelah sekolah.
Di rumah baru aku tinggal bersama 2 orang muridku, satu bernama Enjel (kelas 6 SD) dan Dika (kelas 5 SD). Aku menikmati kehidupan baruku bersama dua orang anak asuhku ini, terlebih menikmati peran baru yang kumiliki. Kami bertiga seperti keluarga kecil yang penuh dinamika di dalamnya.
Hal yang paling menarik di dalamnya adalah menikmati peran ibu dan guru sekaligus. Aku senang mengamati dan memberikan perhatian dalam perkembangan mereka. Misalnya tadi malam, aku tertawa geli menyaksikan Enjel dan Dika yang setengah sadar bertengkar memperebutkan bantal kepala.
Enjel : *tiba-tiba menarik bantal kepala* Beta buat bantal ini dulu!!
Dika : *terbangun kaget, setengah sadar terduduk , menunggu enjel mengembalikan bantal*
Alih-alih mengembalikan bantal, Enjel yang setengah sadar malah memeluk bantal itu sendiri, sementara Dika masih duduk terbengong setengah sadar. Lalu dengan tidak sabar Dika kembali merebut bantal itu dan meletakannya di kepala. Akhirnya Enjel terbangun dan marah –marah, entah apa yang diucapkannya, hanya berupa gumaman layaknya orang mengigau. Namun, setelah marah-marah Enjel kembali tidur sambil memeluk Dika.
Menyaksikan itu aku hanya tertawa geli. Aku menikmati setiap momen bersama mereka, saat kami memasak bersama, berolahraga sore bersama, saat mengepang rambut mereka, mendampingi belajar, membacakan cerita, melerai pertengkaran di antaranya, cabut rumput berjamaah, cuci pakaian bersama , berpetualang mencari sinyal, sampai dengan mengontrol kegiatan mereka di gereja. unik rasanya tiba-tiba memiliki naik pangkat jadi iburumah tangga dan 2 anak perempuan, untungnya anakku langsung besar dan sudah bisa diandalkan .
Selain itu, semenjak pindah rumah, masyarakat memberikan perhatian lebih pada kami. Setiap harinya selalu ada yang membawakan ikan, sayur, keladi atau buah-buahan untuk kami.
Hari pertama pak Samori membawakan ikan hasil tangkapannya untuk kami, hari kedua gresela membawa bebrapa ikat daun genemong (melinjo) dari kebunnya, di hari ketiga ada kiriman sayur tagas-tagas dan jambu air dari mama lapangan (tetanggaku yang tinggal di sebrang lapangan), hari keempat Markus dan Timo membawakan tali petatas dan daun kasbi (singkong), hari kelima mama ambon memberikan kami sesisir pisang masak yang manis dan legit, dan hari ini Uli membawa ikan goreng yang didapatnya dari bagam (rumah perahu tempat menangkap ikan). Bahkan besok, Yafet (murid kelas 3) berjanji akan membawa keladi hasil kebunnya untuk kami.
Walaupun begitu begitu setiap hal ada positif dan negatifnya, jika di rumah terdahulu terletak di atas bukit, dimana aku bisa menikmati indahnya laut lepas setiap saat dan keberadaan sinyal di atas pintu. Kini aku tak lagi bisa menikmati kedua hal itu. Untuk mendapatkan sinyal kami harus berjalan sekitar 500 m ke arah bukit. Namun keistimewaan yang kudapatkan kini adalah memiliki ruang kerja, sehingga aku bisa mengerjakan tugas-tugasku secara lebih baik dan focus. Di kamar kecil berukuran 2 x 3 m itu aku banyak menghabiskan waktu malamku untuk membuat lembar kerja murid, membuat ringkasan materi, mengerjakan administrasi sekolah, desa dan gereja, menulis blog dan laporan atau sekedar corat-coret menggalau menikmati heningnya malam.
Aku sangat bersyukur bahwa semakin hari merasakan semakin besar cinta dan perhatian masyarakat di sini. Sekali lagi aku banyak belajar dari peristiwa pindah rumah, baik bagaimana menjadi ibu yang baik, juru masak yang baik (bukan hanya memasak yang enak, tetapi management persediaan sayur di rumah), bendahara yang baik, dan bagaimana mengatur waktu (time management) antara rumah, sekolah, gereja dan desa.
Aku pun semakin mencintai kampungku, mencintai setiap anak-anakku di sekolah. Semoga di sisa waktu tugasku ini, aku dapat memberikan yang terbaik, yang paling maksimal yang dapat kulakukan.
Di rumah baru aku tinggal bersama 2 orang muridku, satu bernama Enjel (kelas 6 SD) dan Dika (kelas 5 SD). Aku menikmati kehidupan baruku bersama dua orang anak asuhku ini, terlebih menikmati peran baru yang kumiliki. Kami bertiga seperti keluarga kecil yang penuh dinamika di dalamnya.
Hal yang paling menarik di dalamnya adalah menikmati peran ibu dan guru sekaligus. Aku senang mengamati dan memberikan perhatian dalam perkembangan mereka. Misalnya tadi malam, aku tertawa geli menyaksikan Enjel dan Dika yang setengah sadar bertengkar memperebutkan bantal kepala.
Enjel : *tiba-tiba menarik bantal kepala* Beta buat bantal ini dulu!!
Dika : *terbangun kaget, setengah sadar terduduk , menunggu enjel mengembalikan bantal*
Alih-alih mengembalikan bantal, Enjel yang setengah sadar malah memeluk bantal itu sendiri, sementara Dika masih duduk terbengong setengah sadar. Lalu dengan tidak sabar Dika kembali merebut bantal itu dan meletakannya di kepala. Akhirnya Enjel terbangun dan marah –marah, entah apa yang diucapkannya, hanya berupa gumaman layaknya orang mengigau. Namun, setelah marah-marah Enjel kembali tidur sambil memeluk Dika.
Menyaksikan itu aku hanya tertawa geli. Aku menikmati setiap momen bersama mereka, saat kami memasak bersama, berolahraga sore bersama, saat mengepang rambut mereka, mendampingi belajar, membacakan cerita, melerai pertengkaran di antaranya, cabut rumput berjamaah, cuci pakaian bersama , berpetualang mencari sinyal, sampai dengan mengontrol kegiatan mereka di gereja. unik rasanya tiba-tiba memiliki naik pangkat jadi iburumah tangga dan 2 anak perempuan, untungnya anakku langsung besar dan sudah bisa diandalkan .
Selain itu, semenjak pindah rumah, masyarakat memberikan perhatian lebih pada kami. Setiap harinya selalu ada yang membawakan ikan, sayur, keladi atau buah-buahan untuk kami.
Hari pertama pak Samori membawakan ikan hasil tangkapannya untuk kami, hari kedua gresela membawa bebrapa ikat daun genemong (melinjo) dari kebunnya, di hari ketiga ada kiriman sayur tagas-tagas dan jambu air dari mama lapangan (tetanggaku yang tinggal di sebrang lapangan), hari keempat Markus dan Timo membawakan tali petatas dan daun kasbi (singkong), hari kelima mama ambon memberikan kami sesisir pisang masak yang manis dan legit, dan hari ini Uli membawa ikan goreng yang didapatnya dari bagam (rumah perahu tempat menangkap ikan). Bahkan besok, Yafet (murid kelas 3) berjanji akan membawa keladi hasil kebunnya untuk kami.
Walaupun begitu begitu setiap hal ada positif dan negatifnya, jika di rumah terdahulu terletak di atas bukit, dimana aku bisa menikmati indahnya laut lepas setiap saat dan keberadaan sinyal di atas pintu. Kini aku tak lagi bisa menikmati kedua hal itu. Untuk mendapatkan sinyal kami harus berjalan sekitar 500 m ke arah bukit. Namun keistimewaan yang kudapatkan kini adalah memiliki ruang kerja, sehingga aku bisa mengerjakan tugas-tugasku secara lebih baik dan focus. Di kamar kecil berukuran 2 x 3 m itu aku banyak menghabiskan waktu malamku untuk membuat lembar kerja murid, membuat ringkasan materi, mengerjakan administrasi sekolah, desa dan gereja, menulis blog dan laporan atau sekedar corat-coret menggalau menikmati heningnya malam.
Aku sangat bersyukur bahwa semakin hari merasakan semakin besar cinta dan perhatian masyarakat di sini. Sekali lagi aku banyak belajar dari peristiwa pindah rumah, baik bagaimana menjadi ibu yang baik, juru masak yang baik (bukan hanya memasak yang enak, tetapi management persediaan sayur di rumah), bendahara yang baik, dan bagaimana mengatur waktu (time management) antara rumah, sekolah, gereja dan desa.
Aku pun semakin mencintai kampungku, mencintai setiap anak-anakku di sekolah. Semoga di sisa waktu tugasku ini, aku dapat memberikan yang terbaik, yang paling maksimal yang dapat kulakukan.
Monday, January 30, 2012
Aku Pun Berlalu
Maafkan aku yang tak dapat lagi menunggu
Cukup sudah bagiku, menanti dan memberikan hati
Memang ada sejuta tawa dan debar hati yang kau beri
Namun, ketika kau hanya diam membisu, aku pun tak mau terus terpaku
Aku pun berlalu....
Anggaplah telepon pagimu adalah alarm hp untukku,
Suara malammu adalah siaran radio, penghibur hari-hari sepiku
Biar kuingat senyum dan sentuhanmu sebagai embun penyejuk sukma saja
Perhatian, tulisan dan pernak-pernik itu, jadikan saja fosil dalam relung kalbuku
Dan aku pun berlalu....
Cukup sudah, tak mau lagi menimbun asa atau mengasapi hati
Bila memang tak terbakar, lebih baik padam selamanya
Pergi bukan berarti benci dan berlalu bukan berarti musuh
Aku pun berjalan, berlalu darimu....
Membungkus rapi semua koleksi indah itu
Memulai petualangan baruku, mencari warna lain yg sempurnakan hidupku
Dan aku pun berlalu....
Darimu....
Cukup sudah bagiku, menanti dan memberikan hati
Memang ada sejuta tawa dan debar hati yang kau beri
Namun, ketika kau hanya diam membisu, aku pun tak mau terus terpaku
Aku pun berlalu....
Anggaplah telepon pagimu adalah alarm hp untukku,
Suara malammu adalah siaran radio, penghibur hari-hari sepiku
Biar kuingat senyum dan sentuhanmu sebagai embun penyejuk sukma saja
Perhatian, tulisan dan pernak-pernik itu, jadikan saja fosil dalam relung kalbuku
Dan aku pun berlalu....
Cukup sudah, tak mau lagi menimbun asa atau mengasapi hati
Bila memang tak terbakar, lebih baik padam selamanya
Pergi bukan berarti benci dan berlalu bukan berarti musuh
Aku pun berjalan, berlalu darimu....
Membungkus rapi semua koleksi indah itu
Memulai petualangan baruku, mencari warna lain yg sempurnakan hidupku
Dan aku pun berlalu....
Darimu....
Friday, January 13, 2012
2011 yg luar biasa... 2012 yg istimewa
Tahun 2011 boleh jadi salah satu tahun yg paling berarti untukku. Tahun dimana banyak sekali perubahan dalam hidupku.
Bergabung dengan salah satu PR consultan int. Yg beroperasi di 14 negara, menjadi targetku dalam pencapaian karir. Tentu saja penambahan penghasilan dan prestige menangani blue chip client ada di benakku dan luar biasanya semua kudapati di 2011. Namun, ternyata semua itu tidak membawaku pada kebahagiaan yg utuh. Hidupku bagai dikejar2 waktu, tidak ada lagi waktu "me-time", setiap pagi aku bangun dengan khawatir akan apa yg terjadi hari ini. Aku tidak lagi menikmati hari yg diberikan Tuhan sebagai curahan berkat. Namun rutinitas itu tetap ku jalani demi penghasilan dan jenjang karirku.
Akhirnya,aku membuat suatu keputusan besar, yaitu bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar. Keputusan memeberikan beberapa perubahan luar biiasa bagiku:
1. Melalui GIM, aku belajar mengikuti kata hati.
Terkadang seringkali banyak pertimbangan sebelum kita mengambil keputusan, bahkan suara hati atau kebahagian pribadi terabaikan, karena ingin menyenangkan/ memberikan yg terbaik utk orang lain. Namun, kali ini aku ingin mengikuti hatiku, bosan dengan semua yg selalu benar dan ingin melakukan sesuatu yg gila.
2. Dengan masuk GIM, berarti aku harus keluar dari tingkat kenyamananku, meninggalkan penghasilan dan karirku di dunia kehumasan. Ibuku pun terperangah akan hal ini, di tengah zaman yg sulit mengapa aku menyiayiakan pekerjaan yg ada? 3. Bukan saja kehilangan karirku di dunia PR, tapi melalui GIM aku harus hidup di kampung2 di perbatasan terluar Indonesia, tentu saja dimana keterbatasan berkumpul di sana. Terbatas air, terbatas listrik, terbatas makanan, terbatas MCK, dan yg terpenting terbatas sinyal. :D
4. Namun melalui program ini juga memberikan insight2 baru yg mengubah pemikiranku. Aku mengalami sendiri bagaimana pendidikan dapat berefek berantai, karena pendidikan rendah pola pikir masyarakat sebatas bertani dan nasi kosong, mereka tidak memandang sebuah harapan yg dapat diwujudkan melalui pendidikan dan farek (masa bodo) dgn arti penting gizi dan kesehatan.
5. Hidup di cross culture community membuatku belajar memahami perbedaan cara pikir berbagai orang, memahami bahwa perbedaan cara pirir sangat dipengaruhi latar belakang masing-masing orang dan pola asuh sedari kecil.
6. Melalui birokrasi rumit dan pesimisnya pemda setempat, mengajarkankanku ttg kegigihan dan rendah hati. Hanya dgn 2 cara inilah mereka dapat ditaklukan.
7. Karena GIM, untuk pertama kalinya dalam hidupku dan dalam sejarah keluargaku, ada salah seorang anak mereka yg jauh terpisahdari keluarga.
Ribuan mil yg terbentang antara aku dan keluargaku memberikan rasa rindu yg luar biasa. Setiap perhatian yg diberikan ibu, ayah atau kakakku, menjadi butir-butir kekuatan baru bagiku. Tentu saja kita harus belajar mengatasi hal sendiri. Seringkali aku hanya diam dan berusaha memperbaiki sesuatu hal sendiri, agar keluarga nun jauh di sana tdk khawatir. Hanya salam sayang dan kabar bahagia yg bisa lulus sensor utk dibagikan pada ibu dan ayah.
8. Hal terpenting lainnya adalah belajar tentang ketulusan. Kelihatannya mudah dan sangat dapat diaplikasikan, tapi dalam prakteknya ini adalah hal tersulit. Ketulusan mensyaratkan kita melepas ego pribadi dan mengosongkan semua keinginan diri. Dinamika kelompok dan birokrasi dengan pemerintah mengajarkan banyak hal ttg ketulusan. Teringat perkataan seorg teman baik, Ludi, yg nun jauh di aceh, "ketika karyamu tidak dihargai, kamu sedang belajar ttg ketulusan. Dan ketika karyamu dipuji pun, kamu sedang belajar ttg ketulusan"
9. Banyak yg berubah, termasuk cara pandangku.
Dulu aku selalu berpikiran goal oriented, seseorg dinilai berhasil jika ia berhasil mencapai targetnya, dan ia harus bisa!! Bagaimanapun caranya. Namun, hidup 7 bulan ini mengajarkan padaku ttg pentingnya process oriented. Sesuatu yg baik dihasilkan dari proses yg baik. Proses ini yg akan membentuk karakter manusia, dimana banyak nilai-nilai berharga yg bisa dipelajari dalam sebuah proses. Aku belajar bahwa keberhasilan itu relatif, tidak bisa dipukul rata, karena setiap individu unik dengan segala karuniaNya. Bila ia berhasil mencapai targetnya, itu bonus!! 10. Hal indah lainnya yg kudapatkan adalah bertemu dgn org2 hebat dan kemewahan menikmati alam asri dan indah.
Melalui GIM aku bertemu dengan 7 org istimewa yg hebat, yg kini menjadi saudara angkatku. Di angkatanku aku bertemu dgn para pemikir dan pekerja muda yg visioner dan sgt open minded. Aku pun bertemu dengan beberapa org baru yg mencerahkan hariku. Orang-orang ini tidak akan kalian duga sebelumnya, tapi mereka akan hadir dan membawa warnanya, lalu ambil bagian membentuk pelangi hidupmu. Mahkluk2 hebat lainnya adalah bocah2 kecil yg selalu menyajikan wajah ceria, antusias yg tinggi, curiosity tanpa henti, mata berbinar dan senyum malu di sudut bibir mereka. Bila kalian susah menemukan udara dan pemandangan indah di kota besar, maka bergabunglah dengan kami (iklan red). Hahaha... Indahnya purnama dan penumbra-nya menjadi hal yg kutunggu tiap bulannya, hamparan laut biru, debur ombak, cakrawala biru dan para penghuni air garam menyapamu tiap hari. Udara bersih tanpa polusi adalah kemewahan yg ingin kusimpan baik2 di paru-paruku. Sebuah anugrah yg luar biasa, yg tak berujung. More u explore it, more deeper it is. Hm... Sebuah kilas balik yang panjang..dan aku masih punya 4 bulan hari efektif untuk berjuang bersama GIM di tahun yg baru ini... Semoga banyak lagi yg dapat kuberi dalam sisa waktuku ini.... Selamat jalan 2011 yg penuh kenangan dan selamat datang 2012 yg penuh tantangan......
Bergabung dengan salah satu PR consultan int. Yg beroperasi di 14 negara, menjadi targetku dalam pencapaian karir. Tentu saja penambahan penghasilan dan prestige menangani blue chip client ada di benakku dan luar biasanya semua kudapati di 2011. Namun, ternyata semua itu tidak membawaku pada kebahagiaan yg utuh. Hidupku bagai dikejar2 waktu, tidak ada lagi waktu "me-time", setiap pagi aku bangun dengan khawatir akan apa yg terjadi hari ini. Aku tidak lagi menikmati hari yg diberikan Tuhan sebagai curahan berkat. Namun rutinitas itu tetap ku jalani demi penghasilan dan jenjang karirku.
Akhirnya,aku membuat suatu keputusan besar, yaitu bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar. Keputusan memeberikan beberapa perubahan luar biiasa bagiku:
1. Melalui GIM, aku belajar mengikuti kata hati.
Terkadang seringkali banyak pertimbangan sebelum kita mengambil keputusan, bahkan suara hati atau kebahagian pribadi terabaikan, karena ingin menyenangkan/ memberikan yg terbaik utk orang lain. Namun, kali ini aku ingin mengikuti hatiku, bosan dengan semua yg selalu benar dan ingin melakukan sesuatu yg gila.
2. Dengan masuk GIM, berarti aku harus keluar dari tingkat kenyamananku, meninggalkan penghasilan dan karirku di dunia kehumasan. Ibuku pun terperangah akan hal ini, di tengah zaman yg sulit mengapa aku menyiayiakan pekerjaan yg ada? 3. Bukan saja kehilangan karirku di dunia PR, tapi melalui GIM aku harus hidup di kampung2 di perbatasan terluar Indonesia, tentu saja dimana keterbatasan berkumpul di sana. Terbatas air, terbatas listrik, terbatas makanan, terbatas MCK, dan yg terpenting terbatas sinyal. :D
4. Namun melalui program ini juga memberikan insight2 baru yg mengubah pemikiranku. Aku mengalami sendiri bagaimana pendidikan dapat berefek berantai, karena pendidikan rendah pola pikir masyarakat sebatas bertani dan nasi kosong, mereka tidak memandang sebuah harapan yg dapat diwujudkan melalui pendidikan dan farek (masa bodo) dgn arti penting gizi dan kesehatan.
5. Hidup di cross culture community membuatku belajar memahami perbedaan cara pikir berbagai orang, memahami bahwa perbedaan cara pirir sangat dipengaruhi latar belakang masing-masing orang dan pola asuh sedari kecil.
6. Melalui birokrasi rumit dan pesimisnya pemda setempat, mengajarkankanku ttg kegigihan dan rendah hati. Hanya dgn 2 cara inilah mereka dapat ditaklukan.
7. Karena GIM, untuk pertama kalinya dalam hidupku dan dalam sejarah keluargaku, ada salah seorang anak mereka yg jauh terpisahdari keluarga.
Ribuan mil yg terbentang antara aku dan keluargaku memberikan rasa rindu yg luar biasa. Setiap perhatian yg diberikan ibu, ayah atau kakakku, menjadi butir-butir kekuatan baru bagiku. Tentu saja kita harus belajar mengatasi hal sendiri. Seringkali aku hanya diam dan berusaha memperbaiki sesuatu hal sendiri, agar keluarga nun jauh di sana tdk khawatir. Hanya salam sayang dan kabar bahagia yg bisa lulus sensor utk dibagikan pada ibu dan ayah.
8. Hal terpenting lainnya adalah belajar tentang ketulusan. Kelihatannya mudah dan sangat dapat diaplikasikan, tapi dalam prakteknya ini adalah hal tersulit. Ketulusan mensyaratkan kita melepas ego pribadi dan mengosongkan semua keinginan diri. Dinamika kelompok dan birokrasi dengan pemerintah mengajarkan banyak hal ttg ketulusan. Teringat perkataan seorg teman baik, Ludi, yg nun jauh di aceh, "ketika karyamu tidak dihargai, kamu sedang belajar ttg ketulusan. Dan ketika karyamu dipuji pun, kamu sedang belajar ttg ketulusan"
9. Banyak yg berubah, termasuk cara pandangku.
Dulu aku selalu berpikiran goal oriented, seseorg dinilai berhasil jika ia berhasil mencapai targetnya, dan ia harus bisa!! Bagaimanapun caranya. Namun, hidup 7 bulan ini mengajarkan padaku ttg pentingnya process oriented. Sesuatu yg baik dihasilkan dari proses yg baik. Proses ini yg akan membentuk karakter manusia, dimana banyak nilai-nilai berharga yg bisa dipelajari dalam sebuah proses. Aku belajar bahwa keberhasilan itu relatif, tidak bisa dipukul rata, karena setiap individu unik dengan segala karuniaNya. Bila ia berhasil mencapai targetnya, itu bonus!! 10. Hal indah lainnya yg kudapatkan adalah bertemu dgn org2 hebat dan kemewahan menikmati alam asri dan indah.
Melalui GIM aku bertemu dengan 7 org istimewa yg hebat, yg kini menjadi saudara angkatku. Di angkatanku aku bertemu dgn para pemikir dan pekerja muda yg visioner dan sgt open minded. Aku pun bertemu dengan beberapa org baru yg mencerahkan hariku. Orang-orang ini tidak akan kalian duga sebelumnya, tapi mereka akan hadir dan membawa warnanya, lalu ambil bagian membentuk pelangi hidupmu. Mahkluk2 hebat lainnya adalah bocah2 kecil yg selalu menyajikan wajah ceria, antusias yg tinggi, curiosity tanpa henti, mata berbinar dan senyum malu di sudut bibir mereka. Bila kalian susah menemukan udara dan pemandangan indah di kota besar, maka bergabunglah dengan kami (iklan red). Hahaha... Indahnya purnama dan penumbra-nya menjadi hal yg kutunggu tiap bulannya, hamparan laut biru, debur ombak, cakrawala biru dan para penghuni air garam menyapamu tiap hari. Udara bersih tanpa polusi adalah kemewahan yg ingin kusimpan baik2 di paru-paruku. Sebuah anugrah yg luar biasa, yg tak berujung. More u explore it, more deeper it is. Hm... Sebuah kilas balik yang panjang..dan aku masih punya 4 bulan hari efektif untuk berjuang bersama GIM di tahun yg baru ini... Semoga banyak lagi yg dapat kuberi dalam sisa waktuku ini.... Selamat jalan 2011 yg penuh kenangan dan selamat datang 2012 yg penuh tantangan......
Subscribe to:
Posts (Atom)