Holla,
Setelah beberapa tahun vakum :D, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan blog ini lagi.
Hanya saja, mungkin kali ini objective-nya akan berbeda, blog yang dulunya bernama ikarame.blogspot.com saya ganti menjadi kisahtangan.blogspot.com.
Dimana blog ini akan melakukan review-review terkait berbagai hal yang saya dan (calon) pasangan hidup saya alami, semoga review kami bermanfaat bagi teman-teman semua. Kebetulan kami punya signature, yaitu tidak pernah foto menampilkan wajah satu sama lain, sebagai gantinya kami melakukan foto-foto dengan menampilkan gambar tangan. Maka itu blog ini berganti nama menjadi kisahtangan.blogspot.com
Kali ini saya akan menulis review tentang Rumah Retreat Katolik Giri Sonta atau biasa disebut Puspita (Pusat Spiritual Giri Sonta).
Memang sejak saya retreat pribadi di Rawaseneng sayang menjadi ketagihan untuk melakukan retreat pribadi tiap tahunnya.
Tahun 2014 lalu, saya memutuskan untuk retreat di Giri Sonta, Semarang (lagi). Ini merupakan kali kedua saya ke sana, setelah di tahun 2013 saya mengunjungi rumah retreat bergaya Belanda ini untuk pertama kalinya. Uniknya istimewanya kali ini saya pergi dengan sang pacar yang sehari-hari saya panggil "Kakak"
Giri Sonta letaknya di Ungaran, masih sekitar 1,5 jam dari kota Semarang. Saya sendiri pernah mencoba dengan dua cara, yaitu berangkat menggunakan pesawat dan kereta dari Jakarta. Dari segi biaya bisa berbeda hingga 2x lipat. misalnya pada Desember tahun 2014, budget flight fare tujuan Semarang sekitar Rp800.000 sedangkan bila menggunakan kereta hanya Rp 400.000. Bila memesan lebih awal mungkin bisa mendapat harga yang lebih baik.
Karena akhir tahun lalu, saya pergi dengan kakak, kami memutuskan berangkat dengan kereta dan pulang dengan pesawat (biar lebih hemat, namun tidak membuang terlalu banyak waktu). Kebetulan kakak belum pernah naik kereta :D, so it would be a great experience.
Kami memesan tiket kereta secara online, dapat dilihat di https://tiket.kereta-api.co.id/ dan kami memilih untuk naik kereta Anggrek Pagi, yaitu berangkat pukul 9.30 dari stasiun Gambir dan tiba di stasiun Tawang pukul 15.00. Kami pun tiba di stasiun cukup pagi sekitar pukul 08.00. Kakak begitu Sumringah melihat situasi stasiun gambir yang ramai tapi cukup teratur. Menurutku pun sama, dibandingkan beberapa tahun silam, sekarang stasiun-stasiun sudah mengalami banyak perbaikan. sudah banyak resto enak juga di sini.
Setibanya di stasiun kami harus melakukan print tiket lagi, layanan ini memang disediakan oleh PT KAI dan sifatnya gratis.
Setelah berhasil mencetak tiket, kami menyempatkan diri ke mini market di dalam stasiun untuk membeli minuman dingin dan samphoo (seingatku di Giri Sonta memang tidak disediakan peralatan mandi)
Setelah itu kami pun melakukan check-in dengan memberikan tiket dan KTP. Setelah itu, karena masih agak lama kami pun memutuskan menunggu kereta sambil sarapan. Kebetulan tadi pagi memang dibawain bekal sama nyokap, jadi kami pun makan dengan lahap, dengan berbagai kedua ransel terletak di kaki. Selesai makan, sekitar pukul 08.45, kami memutuskan naik ke jalur kereta. Beruntunglah kami, tak berapa lama, sekitar pukul 09.00 ternyata kereta sudah tiba.
Di dalam kereta cukup nyaman, kami duduk di Gerbong Eksekutif 6. Lain dengan kereta commuter, setiap penumpang kereta eksekutif mendapat satu bangku sendiri, kursi juga dilengkapi dengan colokan dan bantal kecil. Jadi lumayanlah, bisa charge Hp di sana.
Kami berdua sangat menikmati perjalanan tersebut, terlebih di setiap tempat duduk juga dilengkapi dengan pijakan kaki, sehingga kaki terasa nyaman.
Kami tiba di stasiun Tawang sekitar pukul 15.30, begitu turun kami disambut oleh gerai roti boy yang harum semerbak...
Karena selama di kereta kami tidak makan (hanya cemal cemil) akhirnya kami memutuskan untuk beli roti. Dari stasiun Tawang, sudah ada taxy yang menunggu kami, Taxy ini memang sudah kami pesan melalui Giri Sonta (Jadi Giri Sonta dapat mereferensikan supir taxy yang bisa mengantar kita ke sana).
Giri Sonta terletak di Ungaran, kita dapat menaiki bus yang menuju kota salatiga (saya belum pernah coba sih), atau dapat juga menggunakan taxy seperti kami, ongkos taxy sekitar Rp130 - 150 ribu. Karena masih lapar, kami minta mampir untuk membeli makanan cepat saji yang bisa langsung dibawa ke Giri Sonta, karena sesi pertama Retreat kami akan dimulai jam 6 sore ini.
Pak Supir pun dengan cekatan membawa kami ke warung Ibu Puji, pusat oleh-oleh yang dilengkapi oleh Resto juga. Beliau menyarankan membeli tahu bakso, karena ringkes dan bisa dimakan diperjalanan. Kami membeli satu kotak tahu bakso (isi 8) dengan harga Rp20.000. Tahu bakso ini recommended sekali, kebetulan ketika kami beli, tahunya masih anget dan dilengkapi dengan cabe rawiiit. Enak sekali, aku dan kakak tak berhenti makan (Enak+Laper = Enak banget)hingga kami tiba di depan gerbang Giri Sonta
Sekian cerita perjalanan menuju Giri Sonta, mengenai Giri Sontanya sendiri, akan direview di artikel berikutnya ya
Petite's notes......
a long journey made by one small step, consist of happy and sad story.. sometimes I walk, sometimes I jump sometimes I stop or either run... Too many moments with beloved people around me, so I wrote small notes as epigraphy of life
Monday, May 11, 2015
Sunday, November 25, 2012
Rawaseneng (Part Two)
Terdengar alunan syahdu mazmur ketika aku menginjakan kaki di Pertapaan Trappist St Maria Rawaseneng, Temaggung. Kulirik arlojiku saat itu menunjukan pukul 14.45. Oh rupanya memang masih jam ibadat siang. Sesuai keterangan yang kubaca di internet, ibadat di Rawaseneng dilakukan 7 kali sehari, salah satunya pukul 14.30.
Aku pun menyapa seorang perempuan setengah baya yang duduk di depan kantor. Ia tersenyum padaku, hanya menatapku lekat-lekat, tanpa satu kata pun terucap. Aku pun tersenyum padanya. Dari pengamatanku, sepertinya ibu dengan tatapan teduh itu adalah seorang tunagrahita, dugaanku ini diperkuat dengan air liur yang menetes dari mulutnya.
Tak lama kemudian, sepasang suami istri paruh baya keluar dari kapel, Pak Hari dan Bu Wiwin. Dengan ramah, mereka menyapaku dan mengajakku menikmati snack sore, pelepas lelah perjalanan. “Puji Tuhan” pikirku, karena pas sekali dengankondisi perut yang setengah keroncongan dan tenggorokan yang kering. Pak Hari dan Bu Wiwin adalah tamu rutin pertapaan, mereka berasal dari Magelang dan sering meluangkan waktu untuk mencari kesegaran rohani di Rawasenang.
Aku pun diperkenalkan dengan Frater Amandeus, Frater Blasius dan Frater Paulus, tiga frater yang paling sering berinteraksi dengan para tamu. Frater Amandeus bertugas di bagian kamar tamu, frater blasius mengurusi stock barang pertapaan, sedangkan Frater Paulus penjaga kantin rohani di Pertapaan Rawaseneng. Selain ketiga frater tersebut, aku jarang melihat frater lainnya, kecuali pada saat ibadah (memang sebagian besar membatasi diri dengankehidupan luar).
Terkadang beberapa frater terlihat di lingkungan biara ketika sedang bekerja, ada pula yang terlihat saat mereka pulang dari perkebunan kopi, peternakan atau di rumah roti (Rawaseneng memproduksi roti sebagai salah satu sumber penghasilan). Namun kehidupan Trappist memang menitikberatkan pada kerja dan doa, sehingga membatasi bicara. Bahkan para tamu pun diminta sangat menjaga keheningan dan ketenangan, menitikberatkan hidup pada kerja dan doa, memfokuskan pikiran pada pencipta dan menginternalisasi kasih dalam setiap laku.
Bagi yang berniat melakukan refleksi diri, Rawaseneng adalah tempat yang tepat. Selain kesunyian dan kesederhanaannya, Rawaseneng juga menyediakan fasilitas yang cukup baik, misalnya kamar tamu yang apik dan rapi (setiap kamar berisi 2-3 tempat tidur), disediakan air panas untuk para tamu yang tidak kuat mandi air dingin (yes, it’s so cold, feel frizzing in early morning).
Pertapaan menyediakan makan 3x sehari dengan snack juga 3x sehari. Semua itu diperoleh hanya dengan Rp50.000 sehari. Menurut frater Amandeus, uang kamar tamu hanyalah berupa sumbangan, tidak dimaksudkan untuk komersil dan bukanlah sumber penghasilan pertapaan. Para rahib sendiri menghidupi diri dan kegiatan mereka dari hasil perkebunan dan peternakan sapi. Lewat karya ini, pertapaan Rawaseneng juga membuka banyak lapangan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Termasuk mempekerjakan masyarakat penderita cacat tubuh atau cacat mental, sehingga mereka tetap bisa berkarya dan menghidupi dirinya (ternyata ibu yang kujumpai saat tiba adalah salah satu petugas kebersihan di pertapaan)
Di belakang kawasan kapel dan penginapan, terdapat peternakan sapi yang jumlahnya ratusan. Sempat saya berbincang dengan pak Slamet, salah satu pekerja peternakan yang bekerja di sana sejak tahun 1980. Pak Slamet pernah mencoba mencari pekerjaan lain di Sumatera, sebagi buruh perkebunan sawit, tapi akhirnya memutuskan kembali. “Sama saja mbak, sana dapt banyak, keluar banyak juga. Di sini lebih tenang dan dekat keluarga” cetusnya.
Agak norak memang, tapi tak dapat dipungkiri aku senang sekali melihat sapi. Sapi yang selama ini kulihat adalah sapi yang berwarna coklat, tapi kali ini sapinya berwarna hitam putih, mirip di tipi-tipi :D. Kupandangi deretan sapi itu dengan papan-papan nama yang tergantung atas mereka. Mulai dari Sarini, melati, Lanny, Ambar, sampai Martha (ini namaku). Menurut keterangan Pak Slamet dulu Rawaseneng juga memelihara babi, tapi akhirnya tak diteruskan karena harga pakan yang semakin melonjak.
Bagi yang mencari tempat tenang, Rawaseneng bisa menjadi pilihan. Para tamu diminta sebisa mungkin mengikuti jadwal ibadah para rahib yang dilakukan 7 kali per hari. Walau sangat malas membangunkan diri di tengah sejuknya udara jam 3 subuh, tetapi melantunkan mazmur dan bermeditasi di pagi hari sangat membantu kita dalam memfokuskan pikiran. Sedikit demi sedikit, berbagai keruwetan mulai melonggar, segala sesak dan beban terasa lebih ringan, dan pikiran menjadi lebih jernih. Setidaknya hal itulah yang kualami, mungkin juga karena lantunan mazmur itu membantuku lebih berpasrah dan legowo. Membawaku pada ranah yang sangat dekat dengan Empunya hidup. Sehingga rasanya hanya “kyrie Eleison” yang bisa terucap.
Tips perjalanan:
Bila dari Jakarta, dapat menempuh Rawaseneng dengan naik bus OBL (Safari Dharma Sakti) dari terminal Rawamangun, Pulogadung atau Lebak Bulus. Saat sampai di Temanggung, bisa menghubungi supir OBL bernama Pak Yadi (085292155128), lalu minta diantar ke Rawaseneng.
Jangan lupa membawa jaket. Saat siang dan sore hari, Rawaseneng menjadi wadah curahan sinar matahari, tetapi saat malam dan subuh, semilir angin menusuk kulit dan menggodaku menyelipkan telapak tangan di ketiak (biar anget :D). Jangan lupa bawa lipgloss atau pelembab sejenis. Pengalamanku kemarin, menyisakan bibir yang kering dan pecah-pecah karena perubahan suhu yang drastic.
Bila ke sana, jangan lupa mencoba roti keju buatan Trappis Rawaseneng. Roti seharga dua ribu rupiah itu, sangat enak. Apalagi bila dinikmati saat baru matang, hm… wangi,lembut dan kejunya terasa sekali. Roti dan kopi susu adalah kemewahan bagiku, semuanya diproduksi dari hasil perkebunan dan peternakan Trappist.
Untuk pengalaman lainnya, silakan dicoba sendiri.
Atau mau pergi bareng-bareng ke sana? Yuk marii..
Aku pun menyapa seorang perempuan setengah baya yang duduk di depan kantor. Ia tersenyum padaku, hanya menatapku lekat-lekat, tanpa satu kata pun terucap. Aku pun tersenyum padanya. Dari pengamatanku, sepertinya ibu dengan tatapan teduh itu adalah seorang tunagrahita, dugaanku ini diperkuat dengan air liur yang menetes dari mulutnya.
Tak lama kemudian, sepasang suami istri paruh baya keluar dari kapel, Pak Hari dan Bu Wiwin. Dengan ramah, mereka menyapaku dan mengajakku menikmati snack sore, pelepas lelah perjalanan. “Puji Tuhan” pikirku, karena pas sekali dengankondisi perut yang setengah keroncongan dan tenggorokan yang kering. Pak Hari dan Bu Wiwin adalah tamu rutin pertapaan, mereka berasal dari Magelang dan sering meluangkan waktu untuk mencari kesegaran rohani di Rawasenang.
Aku pun diperkenalkan dengan Frater Amandeus, Frater Blasius dan Frater Paulus, tiga frater yang paling sering berinteraksi dengan para tamu. Frater Amandeus bertugas di bagian kamar tamu, frater blasius mengurusi stock barang pertapaan, sedangkan Frater Paulus penjaga kantin rohani di Pertapaan Rawaseneng. Selain ketiga frater tersebut, aku jarang melihat frater lainnya, kecuali pada saat ibadah (memang sebagian besar membatasi diri dengankehidupan luar).
Terkadang beberapa frater terlihat di lingkungan biara ketika sedang bekerja, ada pula yang terlihat saat mereka pulang dari perkebunan kopi, peternakan atau di rumah roti (Rawaseneng memproduksi roti sebagai salah satu sumber penghasilan). Namun kehidupan Trappist memang menitikberatkan pada kerja dan doa, sehingga membatasi bicara. Bahkan para tamu pun diminta sangat menjaga keheningan dan ketenangan, menitikberatkan hidup pada kerja dan doa, memfokuskan pikiran pada pencipta dan menginternalisasi kasih dalam setiap laku.
Bagi yang berniat melakukan refleksi diri, Rawaseneng adalah tempat yang tepat. Selain kesunyian dan kesederhanaannya, Rawaseneng juga menyediakan fasilitas yang cukup baik, misalnya kamar tamu yang apik dan rapi (setiap kamar berisi 2-3 tempat tidur), disediakan air panas untuk para tamu yang tidak kuat mandi air dingin (yes, it’s so cold, feel frizzing in early morning).
Pertapaan menyediakan makan 3x sehari dengan snack juga 3x sehari. Semua itu diperoleh hanya dengan Rp50.000 sehari. Menurut frater Amandeus, uang kamar tamu hanyalah berupa sumbangan, tidak dimaksudkan untuk komersil dan bukanlah sumber penghasilan pertapaan. Para rahib sendiri menghidupi diri dan kegiatan mereka dari hasil perkebunan dan peternakan sapi. Lewat karya ini, pertapaan Rawaseneng juga membuka banyak lapangan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Termasuk mempekerjakan masyarakat penderita cacat tubuh atau cacat mental, sehingga mereka tetap bisa berkarya dan menghidupi dirinya (ternyata ibu yang kujumpai saat tiba adalah salah satu petugas kebersihan di pertapaan)
Di belakang kawasan kapel dan penginapan, terdapat peternakan sapi yang jumlahnya ratusan. Sempat saya berbincang dengan pak Slamet, salah satu pekerja peternakan yang bekerja di sana sejak tahun 1980. Pak Slamet pernah mencoba mencari pekerjaan lain di Sumatera, sebagi buruh perkebunan sawit, tapi akhirnya memutuskan kembali. “Sama saja mbak, sana dapt banyak, keluar banyak juga. Di sini lebih tenang dan dekat keluarga” cetusnya.
Agak norak memang, tapi tak dapat dipungkiri aku senang sekali melihat sapi. Sapi yang selama ini kulihat adalah sapi yang berwarna coklat, tapi kali ini sapinya berwarna hitam putih, mirip di tipi-tipi :D. Kupandangi deretan sapi itu dengan papan-papan nama yang tergantung atas mereka. Mulai dari Sarini, melati, Lanny, Ambar, sampai Martha (ini namaku). Menurut keterangan Pak Slamet dulu Rawaseneng juga memelihara babi, tapi akhirnya tak diteruskan karena harga pakan yang semakin melonjak.
Bagi yang mencari tempat tenang, Rawaseneng bisa menjadi pilihan. Para tamu diminta sebisa mungkin mengikuti jadwal ibadah para rahib yang dilakukan 7 kali per hari. Walau sangat malas membangunkan diri di tengah sejuknya udara jam 3 subuh, tetapi melantunkan mazmur dan bermeditasi di pagi hari sangat membantu kita dalam memfokuskan pikiran. Sedikit demi sedikit, berbagai keruwetan mulai melonggar, segala sesak dan beban terasa lebih ringan, dan pikiran menjadi lebih jernih. Setidaknya hal itulah yang kualami, mungkin juga karena lantunan mazmur itu membantuku lebih berpasrah dan legowo. Membawaku pada ranah yang sangat dekat dengan Empunya hidup. Sehingga rasanya hanya “kyrie Eleison” yang bisa terucap.
Tips perjalanan:
Bila dari Jakarta, dapat menempuh Rawaseneng dengan naik bus OBL (Safari Dharma Sakti) dari terminal Rawamangun, Pulogadung atau Lebak Bulus. Saat sampai di Temanggung, bisa menghubungi supir OBL bernama Pak Yadi (085292155128), lalu minta diantar ke Rawaseneng.
Jangan lupa membawa jaket. Saat siang dan sore hari, Rawaseneng menjadi wadah curahan sinar matahari, tetapi saat malam dan subuh, semilir angin menusuk kulit dan menggodaku menyelipkan telapak tangan di ketiak (biar anget :D). Jangan lupa bawa lipgloss atau pelembab sejenis. Pengalamanku kemarin, menyisakan bibir yang kering dan pecah-pecah karena perubahan suhu yang drastic.
Bila ke sana, jangan lupa mencoba roti keju buatan Trappis Rawaseneng. Roti seharga dua ribu rupiah itu, sangat enak. Apalagi bila dinikmati saat baru matang, hm… wangi,lembut dan kejunya terasa sekali. Roti dan kopi susu adalah kemewahan bagiku, semuanya diproduksi dari hasil perkebunan dan peternakan Trappist.
Untuk pengalaman lainnya, silakan dicoba sendiri.
Atau mau pergi bareng-bareng ke sana? Yuk marii..
Thursday, September 20, 2012
Rawaseneng Temanggung - Hidup satu lipatan (Part One)
(ditulis sebagai catatan perjalanan dan petunjuk bagi teman-teman yang mau ziarah/ wisata rohani ke Pertapaan Trappist Rawaseneng - Temanggung)
Ini memang kali pertama aku ke Temanggung, menuju desa kecil bernama Rawaseneng.
Ini pula kali pertama aku naik kereta jarak jauh. Maklumlah aku agak trauma naik kereta, terutama karena pengalamanku yang kurang menyenangkan saat pertama kali menggunakan transportasi darat terpanjang itu.
“Memangnya kamu mau kemana?” Tanya ibuku kemarin, “Ke Jogja, ikut retreat mam, saya butuh ibadah yang lebih khusuk” Jawabku. Sengaja memang aku tak jujur padanya, maaf bukan maksud hati, tapi tak ingin membuatnya khawatir dan akhirnya menghalangi langkah untuk pergi menyepikan diri.
Ya, beberapa teman yang mendengar kata menyepikan diri, tertawa dan tak habis pikir pada keputusanku. “Ke rumah gue aje kalo mau sepi Ka” celoteh beberapa teman menggoda. Aku pun tak tahu apa yang aku cari dalam sepi itu, aku hanya butuh sebuah waktu tenang, menetralisir segala rasa dan menyusun kembali asa. Syukur kalo bisa sekaligus membersihkan jiwa dan menyegarkan sukma.
Maka pagi itu,mendungnya Jakarta mengiringi perjalananku. Dengan senyum lebar dan sedikit detak jantung was-was, aku bertolak ke stasiun Gambir. Berdasarkan info yang aku dapat dari paman Google, Temanggung dapat ditempuh dengan dua jalur, semarang atau Jogja. Aku memutuskan lewat Jogja, karena ada rumah salah satu temanku di sana, setidaknya kalau terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, aku bisa menumpang di rumahnya.
Setengah harap-harap cemas aku menunggu Taksaka pagi di stasiun Gambir. Tepat pukul 08.40 – Kereta eksekutif yang tiketnya kupesan online ini (www.kereta-api.co.id)tiba menjemput para penumpang di Stasiun Gambir. Oh ya, sekarang stasiun Gambir jauh lebih bersih dan tertib loh, bahkan untuk perjalanan jarak jauh, PT KAI menerapkan sistem check-in seperti naik pesawat, jadi penumpang lebih tertib.
Perjalananku menuju Jogja ditemani seorang mahasiswa UGM tingkat tiga, Wilman namanya. Pemuda kelahiran Pekanbaru ini menjadi teman ngobrol asik sepanjang perjalanan. Ternyata ia tertarik dan memang ingin menjadi pengajar muda saat lulus nanti, sehingga aku bisa share banyak pengalaman setahun kemarin dan tentu informasi seputar Indonesia Mengajar.
Rintik hujan pun menemani kami memasuki stasiun kota Santri, Cirebon pada pukul 11.00 dan terus berlanjut hingga aku terlelap. Aku baru terjaga ketika kereta memasuki stasiun Purwokerto. Ramai pedagang asongan yg meneriakan “gethuk goreng mbak” mengusik diriku yang terbukus jaket merah marun. Aku kembali menatap jemdela, menikmati hamparan hijau dari balik jendela yang besisakan titik hujan.
Walupun sedikit molor dari jadwal, akhirnya keretaku tiba dengan apiknya di stasiun Tugu-Jogjakarta. Aku senang sekali, seperti bocah yang mendapat mainan pertamanya. Sengaja aku jalan lambat-lambat, menikmati dan meneliti setiap sudut stasiun itu. Ya, ciri khas orang Jogja adalah memberi petunjuk jalan sesuai arah mata angin. Sayangnya kemampuan spasialku termasuk di bawah rata-rata, jadi aku ga mudeng saat salah satu Bapak memberiku petunjuk pintu keluar Selatan. Aku pun lebih memilih cara Dora, yaitu MENJELAJAH.
Dijemput oleh Kakak temanku, aku pun beristirahat semalam di rumahnya yang hangat. Keesokan siangnya, diantar oleh keluarga kecil yang ramah itu, aku menuju shuttle bus Joglo Semar. Dengan membayar tiket 50.000 aku mengikuti minibus jurusan purwokerto yang berangkat pukul 12.30 itu, dan minta diturunkan di pertigaan Maron – Kandangan.
Saking cemasnya, aku berusaha sekuat tenaga menghafal nama-nama jalan yang kulalui. Setelah melewati Magelang, minibus itu melewati jalan Kranggan, Suwandi Suwardi, Sudirman, S.Parman – sampai akhirnya belok ke kanan di pertigaan pertama setelah melewati pasar Kliwon. Sejak belokan tadi,nama jalan berganti menjadi Jln Diponegoro. Busku terus melaju melewati beberapa lampu merah dan melewati RSUD Temanggung, hingga akhirnya Pak supir menurunkanku di sebuah pertigaan. “Ke arah sana mbak” Sambil menunjuk jalan di sebelah kananku. Setelah berterima kasih pun, aku menyebrang jalan menuju sebuah kios di sudut jalan. Sambil membeli samphoo sachet, aku bertanya pada ibu penjaga kios, angkot mana yang menuju Rawaseneng. Denganbahasa Jawanya pun, ia memanggil salah satu kenek disana, dan aku diarahkan pada angkot merah bernomor 03.
“Astojim” desahku dalam hati. Angkot kecil itu sudah full penumpang, tapi aku tetap saja dijejalkan di kursi depan bersama dua murid SMA lainnya. Baru kali ini aku naik angkot yang penumpang depannya 4 org (termasuk pak supir). Namun itu jauh lebih baik, daripada di bangku belakang yang entah berapa jumlahnya penumpangnya, belum lagi ada 6 orang lainnya yg bergelantungan di pintu angkot. Rasanya kalau ikut lomba masuk mobil – yang diadakan salah satu producer mobil beberapa tahun silam- angkot ini akan juara satu.
Angkot yang setengah doyong ke kiri itu pun melewati jalan Kandangan yang panjang dan berhiaskan tanaman tembakau di sisi kiri kanannya. Angkot itu sebenarnya hanya sampai di pertigaan Tugu Rawasenang dengan ongkos 5000, tapi pak supir menawarkan mengantarkan sampai pertapaan dengan menambah Rp 20.000 lagi. Aku pun setuju. Hmm… tenyata tertipu aku. Pertapaan Rawa Seneng tak begitu jauh dari sana, rasanya jalan kaki pun mungkin, apalagi jalan yang menurun itu, membuat kita tak begitu lelah melewatinya (at least untukku yang terbiasa mengelilingi Siboru- kampung tercinta). Namun, ya sudahlah, rejekinya om supir pikirku.
Aku pun mengucapakan terima kasih sembari melangkahkan kakiku keluar angkot. Terik mentari sore menyapaku, dibarengi hembusan angin, yang membuat bagian punggung batikku sedikit lebih kering. Mataku pun tertuju pada seorang perempuan muda yang duduk di kursi depan kantor, ia mengenakan kaos kuning, rok biru, rambutnya sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Ia menatapku sambil meremas-remas tangannya sendiri. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam. Beliau pun kembali tersenyum, pada saat yang sama air liurnya jatuh menetes ke lantai…..
Ini memang kali pertama aku ke Temanggung, menuju desa kecil bernama Rawaseneng.
Ini pula kali pertama aku naik kereta jarak jauh. Maklumlah aku agak trauma naik kereta, terutama karena pengalamanku yang kurang menyenangkan saat pertama kali menggunakan transportasi darat terpanjang itu.
“Memangnya kamu mau kemana?” Tanya ibuku kemarin, “Ke Jogja, ikut retreat mam, saya butuh ibadah yang lebih khusuk” Jawabku. Sengaja memang aku tak jujur padanya, maaf bukan maksud hati, tapi tak ingin membuatnya khawatir dan akhirnya menghalangi langkah untuk pergi menyepikan diri.
Ya, beberapa teman yang mendengar kata menyepikan diri, tertawa dan tak habis pikir pada keputusanku. “Ke rumah gue aje kalo mau sepi Ka” celoteh beberapa teman menggoda. Aku pun tak tahu apa yang aku cari dalam sepi itu, aku hanya butuh sebuah waktu tenang, menetralisir segala rasa dan menyusun kembali asa. Syukur kalo bisa sekaligus membersihkan jiwa dan menyegarkan sukma.
Maka pagi itu,mendungnya Jakarta mengiringi perjalananku. Dengan senyum lebar dan sedikit detak jantung was-was, aku bertolak ke stasiun Gambir. Berdasarkan info yang aku dapat dari paman Google, Temanggung dapat ditempuh dengan dua jalur, semarang atau Jogja. Aku memutuskan lewat Jogja, karena ada rumah salah satu temanku di sana, setidaknya kalau terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, aku bisa menumpang di rumahnya.
Setengah harap-harap cemas aku menunggu Taksaka pagi di stasiun Gambir. Tepat pukul 08.40 – Kereta eksekutif yang tiketnya kupesan online ini (www.kereta-api.co.id)tiba menjemput para penumpang di Stasiun Gambir. Oh ya, sekarang stasiun Gambir jauh lebih bersih dan tertib loh, bahkan untuk perjalanan jarak jauh, PT KAI menerapkan sistem check-in seperti naik pesawat, jadi penumpang lebih tertib.
Perjalananku menuju Jogja ditemani seorang mahasiswa UGM tingkat tiga, Wilman namanya. Pemuda kelahiran Pekanbaru ini menjadi teman ngobrol asik sepanjang perjalanan. Ternyata ia tertarik dan memang ingin menjadi pengajar muda saat lulus nanti, sehingga aku bisa share banyak pengalaman setahun kemarin dan tentu informasi seputar Indonesia Mengajar.
Rintik hujan pun menemani kami memasuki stasiun kota Santri, Cirebon pada pukul 11.00 dan terus berlanjut hingga aku terlelap. Aku baru terjaga ketika kereta memasuki stasiun Purwokerto. Ramai pedagang asongan yg meneriakan “gethuk goreng mbak” mengusik diriku yang terbukus jaket merah marun. Aku kembali menatap jemdela, menikmati hamparan hijau dari balik jendela yang besisakan titik hujan.
Walupun sedikit molor dari jadwal, akhirnya keretaku tiba dengan apiknya di stasiun Tugu-Jogjakarta. Aku senang sekali, seperti bocah yang mendapat mainan pertamanya. Sengaja aku jalan lambat-lambat, menikmati dan meneliti setiap sudut stasiun itu. Ya, ciri khas orang Jogja adalah memberi petunjuk jalan sesuai arah mata angin. Sayangnya kemampuan spasialku termasuk di bawah rata-rata, jadi aku ga mudeng saat salah satu Bapak memberiku petunjuk pintu keluar Selatan. Aku pun lebih memilih cara Dora, yaitu MENJELAJAH.
Dijemput oleh Kakak temanku, aku pun beristirahat semalam di rumahnya yang hangat. Keesokan siangnya, diantar oleh keluarga kecil yang ramah itu, aku menuju shuttle bus Joglo Semar. Dengan membayar tiket 50.000 aku mengikuti minibus jurusan purwokerto yang berangkat pukul 12.30 itu, dan minta diturunkan di pertigaan Maron – Kandangan.
Saking cemasnya, aku berusaha sekuat tenaga menghafal nama-nama jalan yang kulalui. Setelah melewati Magelang, minibus itu melewati jalan Kranggan, Suwandi Suwardi, Sudirman, S.Parman – sampai akhirnya belok ke kanan di pertigaan pertama setelah melewati pasar Kliwon. Sejak belokan tadi,nama jalan berganti menjadi Jln Diponegoro. Busku terus melaju melewati beberapa lampu merah dan melewati RSUD Temanggung, hingga akhirnya Pak supir menurunkanku di sebuah pertigaan. “Ke arah sana mbak” Sambil menunjuk jalan di sebelah kananku. Setelah berterima kasih pun, aku menyebrang jalan menuju sebuah kios di sudut jalan. Sambil membeli samphoo sachet, aku bertanya pada ibu penjaga kios, angkot mana yang menuju Rawaseneng. Denganbahasa Jawanya pun, ia memanggil salah satu kenek disana, dan aku diarahkan pada angkot merah bernomor 03.
“Astojim” desahku dalam hati. Angkot kecil itu sudah full penumpang, tapi aku tetap saja dijejalkan di kursi depan bersama dua murid SMA lainnya. Baru kali ini aku naik angkot yang penumpang depannya 4 org (termasuk pak supir). Namun itu jauh lebih baik, daripada di bangku belakang yang entah berapa jumlahnya penumpangnya, belum lagi ada 6 orang lainnya yg bergelantungan di pintu angkot. Rasanya kalau ikut lomba masuk mobil – yang diadakan salah satu producer mobil beberapa tahun silam- angkot ini akan juara satu.
Angkot yang setengah doyong ke kiri itu pun melewati jalan Kandangan yang panjang dan berhiaskan tanaman tembakau di sisi kiri kanannya. Angkot itu sebenarnya hanya sampai di pertigaan Tugu Rawasenang dengan ongkos 5000, tapi pak supir menawarkan mengantarkan sampai pertapaan dengan menambah Rp 20.000 lagi. Aku pun setuju. Hmm… tenyata tertipu aku. Pertapaan Rawa Seneng tak begitu jauh dari sana, rasanya jalan kaki pun mungkin, apalagi jalan yang menurun itu, membuat kita tak begitu lelah melewatinya (at least untukku yang terbiasa mengelilingi Siboru- kampung tercinta). Namun, ya sudahlah, rejekinya om supir pikirku.
Aku pun mengucapakan terima kasih sembari melangkahkan kakiku keluar angkot. Terik mentari sore menyapaku, dibarengi hembusan angin, yang membuat bagian punggung batikku sedikit lebih kering. Mataku pun tertuju pada seorang perempuan muda yang duduk di kursi depan kantor, ia mengenakan kaos kuning, rok biru, rambutnya sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Ia menatapku sambil meremas-remas tangannya sendiri. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam. Beliau pun kembali tersenyum, pada saat yang sama air liurnya jatuh menetes ke lantai…..
Labels:
Journey,
Pengalaman,
Rohani
Location: Jakarta
Temanggung Regency, Indonesia
Friday, August 17, 2012
Penyala, Secercah Cahaya Untuk Bangsa
“Bila ada banyak jalan ke Roma, banyak pula cara mencerdasakan Nusa"
Sabtu, 11 Agustus 2012.
Sepeda motor yang membawaku dari halte Ratu plaza berhenti di depan kantor Indonesia Mengajar tepat pukul 14.20. Terlihat beberapa orang berpakaian cukup necis sibuk mengangkut dan memilah-milah buku. Rumah nomor 4 itu pun dipenuhi suasana sibuk nan semangat. “Assalamualaikum” sapaku seraya melangkah ke dalam. Senyum Nisa PM 1 menyambutku yang agak ribet dengan gerombolan barang bawaan di tangan.
Selesai meletakan barang bawaan, aku pun segera bergegas menuju garasi yang sudah digunungi buku-buku berbagai jenis dan judul. Sebenarnya aku pun sedikit canggung karena belum mengenal orang-orang ini. Ya, meskipun aku pengajar muda, tetapi aku belum pernah bertatap langsung dengan para penyala, para pahlawan yang bekerja menyuport kami di daerah. Maklumlah baru saja hitungan minggu kami tiba di Jakarta. Istimewanya acara packing buku kali ini, selain diikuti penyala tetap, beberapa PM1 dan PM2, juga diikuti teman-teman dari Astra International (correct me if I’m wrong buddy).
Buku pelajaran, buku pengetahuan, buku cerita, bank soal-soal, majalah,komik dan berbagai buku lainnya tumpah ruah minta dipilah. Ketika asiknya aku menyortir majalah, tiba-tiba seorang bocah melompat di depanku. Bocah putih keriwil yang nampak sibuk ngoceh mencari perhatian orang dewasa di sekelilingnya. Tergoda aku untuk bertanya, “Halo, siapa nih namanya?” tanyaku seraya mengulurkan tangan “Benten!!” jawabnya tegas sambil menunjukan jam tangan hijau di pergelangan tangan kanannya. Aku pun tersenyum menjawab “Oh Benten, lagi bantu ayah ya?” “Bukan ayah” jawabnya sambil melengos pergi. Ternyata si “Benten” adalah anak dari salah satu teman-teman Astra yang membantu packing penyala hari itu.
Kami pun bekerja dengan sibuknya, memilah dan membagi buku dengan adilnya. Kali ini buku yang kami packing akan dikirim untuk teman-teman PM 3 di 5 kabupaten penempatan pertama (Bengkalis, Tulang Bawang Barat, Paser, Majene, Halmahera Selatan) ditambah dengan kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim daerah penempatan PM 2 setelah dipindahkan dari Aceh Utara karena alasan keamanan. Buku-buku itu pun dimasukan dalam 7 kardus besar yang dibungkus rapi dengan kantong plastic hitam. Asiknya kami bekerja ditambah celoteh dan gerak gerik si Benten yang mengocok perut, membuat hari pun cepat berlalu. Adzan Magrib pun berkumandang, menggiring kami bercengkrama sambil berbuka.
Ya, memanglah sederhana. Bukan memindahkan gunung atau mengeringkan lautan. Bukan pula menerjang peluru atau menyerang dengan bambu runcing. Namun, semoga usaha dan kerja kita di bulan puasa ini, jadi hadiah bermakna bagi Indonesia Raya, Negeri kita. Selamat ulang tahun tanah airku, Indonesia-ku yang berlangit biru.
Terima kasih Penyala, terima kasih teman-teman Astra.
Thursday, August 09, 2012
Aku Ada
Ada yang bilang bahwa lagu adalah melodi jiwa, ada pula yang berkata bahwa dengan bernyanyi sama powerful-nya dengan lima kali berdoa.
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Tuesday, August 07, 2012
May God always be with Mei
Rindu memang bisa menyesakan dada, membuat air mata berlinang dan membuat pikiran tak karuan.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Friday, August 03, 2012
Titik Heran Pertama
“Mati, harus ngomong apa yah gue? Kalo ntar bahasa Inggrisnya salah, gimana nih? Orang hebat semua pula. Duh bisa ga yah gue?” tanyaku dalam hati seraya menerima kertas “corat-coret” dari bu Evi. External Relation manager Indonesia Mengajar yang cantik itu baru saja memintaku menggantikan Putri sebagai MC dan Moderator diskusi ini.
Ya, Katanya diskusi santai bersama para Global Shapers dari World Economic Forum. Namun, sulit rasanya menyantaikan diri di Ballroom hotel bintang lima ini, terlebih membaca profil para speakers yang berkompetensi luar biasa, World Class Leader kalau kata Pak Anies.
Waktuku 15 menit untuk mempersiapkan diri. Memang ini bukan kali pertamaku menjadi MC. Namun, biasanya hanyalah MC ulang tahun sepupuh, ulang tahun nenek, atau acara gereja. Tidak pernah yang seserius ini. Terlebih diriku bukan Ika yang dulu. 3 tahun terakhir, aku lebih menikmati pekerjaan di belakang layar. Entah kemana hilangnya kepercayaan diriku itu, entah kemana perginya hasrat untuk menjadi pusat perhatian itu. AKu bukan lagi gadis kecil yang sangat bersemangat memberikan pidato pembukaan MOS SMA, bukan lagi perempuan yang gigih memperjuangkan pendapatnya, walau harus berteriak sekalipun. Tidak, aku tak suka sosok itu lagi!
Maka itu, pekerjaan MC dan moderator sederhana seperti ini pun merupakan satu titik heran baru bagiku. Beranikah aku? Show must go on, jemariku dingin dan suaraku bergetar, aku memilih mengungkapkan semua rasa nervous-ku ke audience, membungkusnya dengan humor semampuku. Otakku berfikir keras mencari bahan pertanyaan dan guyonan, sementara dua bola mataku menatap 5 speaker yang bergantian berbicara. Untunglah di akhir acara semua terhibur, malah beberapa dari mereka menyukainya dan menyebutku Ika Winfrey.
Ternyata aku mampu. Ternyata berada di panggung itu tak semenakutkan yang kukira. Ternyata berbicara di depan itu enak juga (^_^). Ini adalah sebuah satu titik heran bagiku, dimana malam ini aku berhasil mengalahkan ketakutanku.
Nah teman, mungkin beberapa dari kalian pun pernah merasakan hal ini, takut dan tak mampu. Tapi, tak ada salahnya dicoba, kalau enak silahkan lanjutkan dan Kalau tidak, yah hentikan saja dan teruslah berjalan. We never know before we try.
Teruslah berani, teruslah mengeksplor diri.
Subscribe to:
Posts (Atom)