a long journey made by one small step, consist of happy and sad story.. sometimes I walk, sometimes I jump sometimes I stop or either run... Too many moments with beloved people around me, so I wrote small notes as epigraphy of life
Friday, August 17, 2012
Penyala, Secercah Cahaya Untuk Bangsa
“Bila ada banyak jalan ke Roma, banyak pula cara mencerdasakan Nusa"
Sabtu, 11 Agustus 2012.
Sepeda motor yang membawaku dari halte Ratu plaza berhenti di depan kantor Indonesia Mengajar tepat pukul 14.20. Terlihat beberapa orang berpakaian cukup necis sibuk mengangkut dan memilah-milah buku. Rumah nomor 4 itu pun dipenuhi suasana sibuk nan semangat. “Assalamualaikum” sapaku seraya melangkah ke dalam. Senyum Nisa PM 1 menyambutku yang agak ribet dengan gerombolan barang bawaan di tangan.
Selesai meletakan barang bawaan, aku pun segera bergegas menuju garasi yang sudah digunungi buku-buku berbagai jenis dan judul. Sebenarnya aku pun sedikit canggung karena belum mengenal orang-orang ini. Ya, meskipun aku pengajar muda, tetapi aku belum pernah bertatap langsung dengan para penyala, para pahlawan yang bekerja menyuport kami di daerah. Maklumlah baru saja hitungan minggu kami tiba di Jakarta. Istimewanya acara packing buku kali ini, selain diikuti penyala tetap, beberapa PM1 dan PM2, juga diikuti teman-teman dari Astra International (correct me if I’m wrong buddy).
Buku pelajaran, buku pengetahuan, buku cerita, bank soal-soal, majalah,komik dan berbagai buku lainnya tumpah ruah minta dipilah. Ketika asiknya aku menyortir majalah, tiba-tiba seorang bocah melompat di depanku. Bocah putih keriwil yang nampak sibuk ngoceh mencari perhatian orang dewasa di sekelilingnya. Tergoda aku untuk bertanya, “Halo, siapa nih namanya?” tanyaku seraya mengulurkan tangan “Benten!!” jawabnya tegas sambil menunjukan jam tangan hijau di pergelangan tangan kanannya. Aku pun tersenyum menjawab “Oh Benten, lagi bantu ayah ya?” “Bukan ayah” jawabnya sambil melengos pergi. Ternyata si “Benten” adalah anak dari salah satu teman-teman Astra yang membantu packing penyala hari itu.
Kami pun bekerja dengan sibuknya, memilah dan membagi buku dengan adilnya. Kali ini buku yang kami packing akan dikirim untuk teman-teman PM 3 di 5 kabupaten penempatan pertama (Bengkalis, Tulang Bawang Barat, Paser, Majene, Halmahera Selatan) ditambah dengan kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim daerah penempatan PM 2 setelah dipindahkan dari Aceh Utara karena alasan keamanan. Buku-buku itu pun dimasukan dalam 7 kardus besar yang dibungkus rapi dengan kantong plastic hitam. Asiknya kami bekerja ditambah celoteh dan gerak gerik si Benten yang mengocok perut, membuat hari pun cepat berlalu. Adzan Magrib pun berkumandang, menggiring kami bercengkrama sambil berbuka.
Ya, memanglah sederhana. Bukan memindahkan gunung atau mengeringkan lautan. Bukan pula menerjang peluru atau menyerang dengan bambu runcing. Namun, semoga usaha dan kerja kita di bulan puasa ini, jadi hadiah bermakna bagi Indonesia Raya, Negeri kita. Selamat ulang tahun tanah airku, Indonesia-ku yang berlangit biru.
Terima kasih Penyala, terima kasih teman-teman Astra.
Thursday, August 09, 2012
Aku Ada
Ada yang bilang bahwa lagu adalah melodi jiwa, ada pula yang berkata bahwa dengan bernyanyi sama powerful-nya dengan lima kali berdoa.
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Yup kadang lagu memang bisa mewakilkan pikiran yg ingin terucap, entah dari segi komposisi melodinya maupun liriknya. Ada yang suka karena musiknya yang easy listening, ada pula yang suka karena liriknya yang menjadi juru bicara ketika lidah kelu tak berdaya.
Setelah ngacak-ngacak lemari, aku menemukan kembali lagu ini, terdiam... dan mencintainya, baik melodi dan syairnya. Entah mengapa malam ini aku memutarnya berkali-kali, dan aku ingin memutarnya sekali lagi, sekali lagi di suatu masa untuk sebuah jiwa.
Aku Ada
First singer:
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Aku lah lautan
Kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Ku ingin ku tahu engkau ada
Suara 2:
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Aku lah lautan
Memeluk pantaimu erat
Jingga di bahuku
Malam di depanmu
dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada
-dee- Recto Verso-
Tuesday, August 07, 2012
May God always be with Mei
Rindu memang bisa menyesakan dada, membuat air mata berlinang dan membuat pikiran tak karuan.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Ya, aku memang melankolis kalau dalam hal rindu merindu dan enggan membuang rasa itu cepat. Aku merindukan mereka, setiap pasang mata yang memandangku penuh sayang bersama lengkungan manis senyum mereka yang kontras menampilkan gigi putih dan kulit sawo matang. Rambut keriting dan binar mata mata malu-malu tapi ingin tahu kian terlintas dalam benakku. Belum lagi suara mereka yang kian memanggilku "Ibuuu" membuat hati ingin bertemu, kembali pulang ke Siboru.
Rinduku membuatku kembali membuka catatan perjalanan yang kutulis selama di sana. Ya, setidaknya mengobati rindu. Kutemukan sebuah catatan tentang Mei, gadis manis yang sayangnya bernasib kurang beruntung. Inilah kisahnya:
April 2012
Mei namanya, malaikat kecil berusia 11 bulan. Bulan depan usianya genap satu tahun, tapi miris melihat keadaannya.
Kaki Mei dipenuhi bintik-bintik merah, ada yang sudah terkupas dan berdarah, ada pula yang masih mentul berisi air di dalamnya. Kepalanya dipenuhi bisul, termasuk satu buah di pelupuk mata kirinya.
Berkali-kali ia menangis, memberi isyarat atas ketidaknyamanan yang ia rasakan Merengek meminta digendong, seakan rindu belai kasih sayang seorang ibu.
Saat ku gendong, terasa ada yang salah dengan paru-parunya. Dua keping alat pernapasan itu berbunyi, seperti terendam cairan yang membuat napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Iba menyelimutiku, merinding dan perih rasanya melihat anak manusi di sia-sia. Salah apakah dia sampai ditelantarkan di dunia.
Mei adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dua kakaknya yang berumur 16 dan 14 tahun tinggal di Sorong, 4 orang lainnya tinggal di desa Siboru bersama pamannya. Desa kecil tempatku mengabdi setahun kemarin. Sedangkan Mei, tak jelas nasibnya, dioper dari satu rumah ke rumah lainnya. Bila salah seorang dari paman atau bibinya sudah lelah menjaga, maka ia akan diungsikan ke keluarga lain. Sampai hari ini, ia sudah menjajaki 6 keluarga.
Pertama kali aku melihatnya adalah di rumah ayah angkatku, saat itu usianya enam bulan dan baru saja datang dari Sorong. Ia terkulai lemah dalam gendongan Milka, salah satu bibinya. Bahkan saat itu mengangkat kepala pun ia tidak mampu. Kini setelah berpindah enam kali, ia tak lagi diberi susu, hanya air putih yang terisi di botol itu.
Sejak lahir Mei sudah ditolah ibu kandungnya> Ibunya tidak mau gurusnya, tidak mau merawat atau menggendongnya, apalagi menyusuinya. Ironisnya semua ini hanya karena mahar yang belum dibayar. Sangibu merasa bahwa ayah mereka belum memenuhi kewajiban dan hutangnya sehingga ia pun tak berkewajiban memebesarkan anaknya. Mau melahirkannya saja sudah bagus!
Ayahnya adalah seorang guru yang bertugas di Sorong, tetapi kini ikut sang istri menetap di Pikpik-Fakfak (sebuah desa di daerah pegunungan). Entah apa yang dipikirkannya hingga seperti 'menutup mata' akan kondisi anak-anaknya.
Aku hanya mampu memandang badan ringkih itu, seandainya aku mampu dan bersuami, ingin rasanya membawa Mei pulang ke Jakarta. Mengasuhnya dan memberi kasih sayang yang ia minta. Namun lagi-lagi aku aku hanya bisa terdiam, tanpa mampu berbuat apapun. HAnya memeluknya membisu.
Sebenarnya aku benci rasa in, ketika aku tak tega tp tak bisa berbuat apa-apa. Menumpulkan hati dan menulikan telinga.
Friday, August 03, 2012
Titik Heran Pertama
“Mati, harus ngomong apa yah gue? Kalo ntar bahasa Inggrisnya salah, gimana nih? Orang hebat semua pula. Duh bisa ga yah gue?” tanyaku dalam hati seraya menerima kertas “corat-coret” dari bu Evi. External Relation manager Indonesia Mengajar yang cantik itu baru saja memintaku menggantikan Putri sebagai MC dan Moderator diskusi ini.
Ya, Katanya diskusi santai bersama para Global Shapers dari World Economic Forum. Namun, sulit rasanya menyantaikan diri di Ballroom hotel bintang lima ini, terlebih membaca profil para speakers yang berkompetensi luar biasa, World Class Leader kalau kata Pak Anies.
Waktuku 15 menit untuk mempersiapkan diri. Memang ini bukan kali pertamaku menjadi MC. Namun, biasanya hanyalah MC ulang tahun sepupuh, ulang tahun nenek, atau acara gereja. Tidak pernah yang seserius ini. Terlebih diriku bukan Ika yang dulu. 3 tahun terakhir, aku lebih menikmati pekerjaan di belakang layar. Entah kemana hilangnya kepercayaan diriku itu, entah kemana perginya hasrat untuk menjadi pusat perhatian itu. AKu bukan lagi gadis kecil yang sangat bersemangat memberikan pidato pembukaan MOS SMA, bukan lagi perempuan yang gigih memperjuangkan pendapatnya, walau harus berteriak sekalipun. Tidak, aku tak suka sosok itu lagi!
Maka itu, pekerjaan MC dan moderator sederhana seperti ini pun merupakan satu titik heran baru bagiku. Beranikah aku? Show must go on, jemariku dingin dan suaraku bergetar, aku memilih mengungkapkan semua rasa nervous-ku ke audience, membungkusnya dengan humor semampuku. Otakku berfikir keras mencari bahan pertanyaan dan guyonan, sementara dua bola mataku menatap 5 speaker yang bergantian berbicara. Untunglah di akhir acara semua terhibur, malah beberapa dari mereka menyukainya dan menyebutku Ika Winfrey.
Ternyata aku mampu. Ternyata berada di panggung itu tak semenakutkan yang kukira. Ternyata berbicara di depan itu enak juga (^_^). Ini adalah sebuah satu titik heran bagiku, dimana malam ini aku berhasil mengalahkan ketakutanku.
Nah teman, mungkin beberapa dari kalian pun pernah merasakan hal ini, takut dan tak mampu. Tapi, tak ada salahnya dicoba, kalau enak silahkan lanjutkan dan Kalau tidak, yah hentikan saja dan teruslah berjalan. We never know before we try.
Teruslah berani, teruslah mengeksplor diri.
Subscribe to:
Posts (Atom)