(ditulis sebagai catatan perjalanan dan petunjuk bagi teman-teman yang mau ziarah/ wisata rohani ke Pertapaan Trappist Rawaseneng - Temanggung)
Ini memang kali pertama aku ke Temanggung, menuju desa kecil bernama Rawaseneng.
Ini pula kali pertama aku naik kereta jarak jauh. Maklumlah aku agak trauma naik kereta, terutama karena pengalamanku yang kurang menyenangkan saat pertama kali menggunakan transportasi darat terpanjang itu.
“Memangnya kamu mau kemana?” Tanya ibuku kemarin, “Ke Jogja, ikut retreat mam, saya butuh ibadah yang lebih khusuk” Jawabku. Sengaja memang aku tak jujur padanya, maaf bukan maksud hati, tapi tak ingin membuatnya khawatir dan akhirnya menghalangi langkah untuk pergi menyepikan diri.
Ya, beberapa teman yang mendengar kata menyepikan diri, tertawa dan tak habis pikir pada keputusanku. “Ke rumah gue aje kalo mau sepi Ka” celoteh beberapa teman menggoda. Aku pun tak tahu apa yang aku cari dalam sepi itu, aku hanya butuh sebuah waktu tenang, menetralisir segala rasa dan menyusun kembali asa. Syukur kalo bisa sekaligus membersihkan jiwa dan menyegarkan sukma.
Maka pagi itu,mendungnya Jakarta mengiringi perjalananku. Dengan senyum lebar dan sedikit detak jantung was-was, aku bertolak ke stasiun Gambir. Berdasarkan info yang aku dapat dari paman Google, Temanggung dapat ditempuh dengan dua jalur, semarang atau Jogja. Aku memutuskan lewat Jogja, karena ada rumah salah satu temanku di sana, setidaknya kalau terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, aku bisa menumpang di rumahnya.
Setengah harap-harap cemas aku menunggu Taksaka pagi di stasiun Gambir. Tepat pukul 08.40 – Kereta eksekutif yang tiketnya kupesan online ini (www.kereta-api.co.id)tiba menjemput para penumpang di Stasiun Gambir. Oh ya, sekarang stasiun Gambir jauh lebih bersih dan tertib loh, bahkan untuk perjalanan jarak jauh, PT KAI menerapkan sistem check-in seperti naik pesawat, jadi penumpang lebih tertib.
Perjalananku menuju Jogja ditemani seorang mahasiswa UGM tingkat tiga, Wilman namanya. Pemuda kelahiran Pekanbaru ini menjadi teman ngobrol asik sepanjang perjalanan. Ternyata ia tertarik dan memang ingin menjadi pengajar muda saat lulus nanti, sehingga aku bisa share banyak pengalaman setahun kemarin dan tentu informasi seputar Indonesia Mengajar.
Rintik hujan pun menemani kami memasuki stasiun kota Santri, Cirebon pada pukul 11.00 dan terus berlanjut hingga aku terlelap. Aku baru terjaga ketika kereta memasuki stasiun Purwokerto. Ramai pedagang asongan yg meneriakan “gethuk goreng mbak” mengusik diriku yang terbukus jaket merah marun. Aku kembali menatap jemdela, menikmati hamparan hijau dari balik jendela yang besisakan titik hujan.
Walupun sedikit molor dari jadwal, akhirnya keretaku tiba dengan apiknya di stasiun Tugu-Jogjakarta. Aku senang sekali, seperti bocah yang mendapat mainan pertamanya. Sengaja aku jalan lambat-lambat, menikmati dan meneliti setiap sudut stasiun itu. Ya, ciri khas orang Jogja adalah memberi petunjuk jalan sesuai arah mata angin. Sayangnya kemampuan spasialku termasuk di bawah rata-rata, jadi aku ga mudeng saat salah satu Bapak memberiku petunjuk pintu keluar Selatan. Aku pun lebih memilih cara Dora, yaitu MENJELAJAH.
Dijemput oleh Kakak temanku, aku pun beristirahat semalam di rumahnya yang hangat. Keesokan siangnya, diantar oleh keluarga kecil yang ramah itu, aku menuju shuttle bus Joglo Semar. Dengan membayar tiket 50.000 aku mengikuti minibus jurusan purwokerto yang berangkat pukul 12.30 itu, dan minta diturunkan di pertigaan Maron – Kandangan.
Saking cemasnya, aku berusaha sekuat tenaga menghafal nama-nama jalan yang kulalui. Setelah melewati Magelang, minibus itu melewati jalan Kranggan, Suwandi Suwardi, Sudirman, S.Parman – sampai akhirnya belok ke kanan di pertigaan pertama setelah melewati pasar Kliwon. Sejak belokan tadi,nama jalan berganti menjadi Jln Diponegoro. Busku terus melaju melewati beberapa lampu merah dan melewati RSUD Temanggung, hingga akhirnya Pak supir menurunkanku di sebuah pertigaan. “Ke arah sana mbak” Sambil menunjuk jalan di sebelah kananku. Setelah berterima kasih pun, aku menyebrang jalan menuju sebuah kios di sudut jalan. Sambil membeli samphoo sachet, aku bertanya pada ibu penjaga kios, angkot mana yang menuju Rawaseneng. Denganbahasa Jawanya pun, ia memanggil salah satu kenek disana, dan aku diarahkan pada angkot merah bernomor 03.
“Astojim” desahku dalam hati. Angkot kecil itu sudah full penumpang, tapi aku tetap saja dijejalkan di kursi depan bersama dua murid SMA lainnya. Baru kali ini aku naik angkot yang penumpang depannya 4 org (termasuk pak supir). Namun itu jauh lebih baik, daripada di bangku belakang yang entah berapa jumlahnya penumpangnya, belum lagi ada 6 orang lainnya yg bergelantungan di pintu angkot. Rasanya kalau ikut lomba masuk mobil – yang diadakan salah satu producer mobil beberapa tahun silam- angkot ini akan juara satu.
Angkot yang setengah doyong ke kiri itu pun melewati jalan Kandangan yang panjang dan berhiaskan tanaman tembakau di sisi kiri kanannya. Angkot itu sebenarnya hanya sampai di pertigaan Tugu Rawasenang dengan ongkos 5000, tapi pak supir menawarkan mengantarkan sampai pertapaan dengan menambah Rp 20.000 lagi. Aku pun setuju. Hmm… tenyata tertipu aku. Pertapaan Rawa Seneng tak begitu jauh dari sana, rasanya jalan kaki pun mungkin, apalagi jalan yang menurun itu, membuat kita tak begitu lelah melewatinya (at least untukku yang terbiasa mengelilingi Siboru- kampung tercinta). Namun, ya sudahlah, rejekinya om supir pikirku.
Aku pun mengucapakan terima kasih sembari melangkahkan kakiku keluar angkot. Terik mentari sore menyapaku, dibarengi hembusan angin, yang membuat bagian punggung batikku sedikit lebih kering. Mataku pun tertuju pada seorang perempuan muda yang duduk di kursi depan kantor, ia mengenakan kaos kuning, rok biru, rambutnya sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Ia menatapku sambil meremas-remas tangannya sendiri. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam. Beliau pun kembali tersenyum, pada saat yang sama air liurnya jatuh menetes ke lantai…..