Sunday, August 28, 2011

Resep panjang umur..... *Ala Nenek Rosina*

10 Agustus 2011




Namanya Rosina, umurnya sekitar 100 tahun tapi sorot matanya masih cemerlang, masih lincah walaupun tungkai-tungkainya sedikit rapuh, pendengarannya sudah berkurang, tetapi ia fasih berbahasa Indonesia, senang bercerita dan senyum ramah selalu mengembang dari bibirnya yang merah (karena makan pinang).

Di rumah tempat tinggalku ada seorang nenek, ibu dari bapak piaraku. Nenek bernama Rosina atau biasa dipanggil Nenek Rosa. Menurut bapak-ku (yg berumur 74 tahun) saat ini usia nenek sudah 100 tahun lebih (tidak ada yg tahu berapa tahun tepatnya). Bapak adalah anak pertama, dimana sebelum nenek melahirkan bapak, ia telah mengangkat seorang anak. Nenek dan kakek mempunyai 7 anak kandung.



Suatu sore nan teduh, kami berdua bercerita. Ia bercerita bahwa ayahnya adalah orang pertama yang menyebarkan agama Katolik di Fakfak. Ayahnya merupakan missionaris awam yang bersama dengan pastur Belanda menyebarkan agama Katolik. Selama hidupnya nenek sempat mengalami beberapa kali perang, yang lekat diingatannya adalah perang melawan Belanda dan Jepang. Menurut nenek (Saksi hidup) pertama-tama Desa ini telah dikuasai Belanda. Belanda telah ada sejak nenek masih kecil, lalu terjadilah perang sehingga kedudukan digantikan oleh Jepang. Menurut nenek saat itu semua orang Belanda keluar dari Papua dan orang-orang China mengungsi ke gunung-gunung.



Semasa Jepang, pasukan Jepang menghancurkan gereja-gereja, lonceng-lonceng besar, rumah-rumah dan penduduk diminta menanam kebun. Ketika sudah dekat panen, pasukan Jepang mengawasi setiap hari dan membawa hasil panen mereka. Setelah beberapa bulan, terjadilah perang (nenek tidak menyebutkan antara siapa) dimana bom berjatuhan setiap hari dan banyak memakan korban. Hal ini membuat nenek dan sanak keluarganya mengungsi di gua-gua di kaki gunung. Setelah perang reda, mamanya membawa dia ke kampung Siboru ini. “Kalau malam gelap, tara ada yang berani keluar. Tinggal-tinggal terus… sampai perang reda. Mama ambil penggayung, bawa nenek turun ke sini.”





Nenek adalah sosok yang periang, menikmati hidupnya dan suka kebersihan. Meskipun sudah lanjut usia, nenek masih suka mencuci piring, menyapu dan menumbuk pinang. Ia paling senang menyapu rumah, sedikitnya 3 kali sehari nenek menyapu rumah (Ia akan sedih atau mengomel bila dilarang menyapu). Selain itu nenek sangat rapi menyimpan barang-barang. Di kamarnya semacam mini market yang berisi berbagai kaleng-kaleng dan belanga-belanga besar, dimana di dalamnya tersimpanan makanan dan perlengkapan dapur lainnya, mulai dari simpanan gula, beras, minyak, sabun cuci, teh, kopi, garam, biscuit dan lainnya. Ia dapat menyimpan sangat rapi sehingga simpanannya tidak dimakan tikus maupun semut. Setiap pagi dan sore, nenek akan duduk di dekat pintu, menumbuk pinang sambil melihat-lihat keluar. Ia senang mengamati orang yang lewat, menikmati bunyi laut di depannya dan mendengar suara burung yang berkicau dari belakang rumah.



Nenek sangat sayang padaku, Ia mengeluarkan bantal guling besar yang masih baru dan memberikannya padaku seraya berkata “Ibu pakai ini, ini punya nenek. Nenek pakai yang kecil, ibu pakai yang besar.” Aku sangat terharu saat itu karena di rumah itu ada banyak cucu dan anaknya tetapi nenek malah memberikannya padaku yang notabene baru berkenalan dengannya beberapa saat saja.




Nenek adalah sosok yang mengajarkanku bagaimana menikmati hidup ini; bekerjalah untuk memenuhi kebutuhanmu, menyimpanlah untuk masa susah (saving) dan sediakan waktu khusus untuk dirimu. Mungkin tiga hal ini adalah resep umur panjang seperti nenek .

Friday, August 19, 2011

Ketika Kibar Merah Putih Menyatukan Kami






Satu hal, yang membuatku mengharu biru. Ketika Indonesia Raya dinyanyikan dengan jelas dan lantang oleh semua muridku. “Akhirnya mereka hafal lagu kebangsaannya” Ujarku dalam hati.



16 Agustus 2011.

“Bu guru datang, bu guru datang” ujar salah satu muridku di YPK Siboru. Pagi itu, 16 Agustus 2011 boleh jadi hari yang dinantikan murid-muridku. Hari itu kami akan memperingati hari lahirnya bangsa Indonesia dengan upacara bendera dan berbagai kegiatan lomba. Meskipun duduk di bangku SD, upacara dan lomba adalah hal langka bagi murid-muridku. Alasan klise kekurangan guru sering kali menjadi tameng utama untuk melewatkan kegiatan semacam ini. Sehingga pagi itu mereka sangat antusias untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia.



Gerombolan seragam putih merah pun semakin jelas kulihat. Ada yang tersetrika rapi, ada pula yang lecek lusuh. Ada yang lengkap dengan sepatu, ada pula yang memakai sandal atau telanjang kaki. Maklumlah jalan di kampung masih berbatu dan bertanah lempung. Namun di balik semua atribut itu ada binar mata dan senyum ceria yang menantikan kibaran sang merah putih.



Upacara pagi itu berlangsung kurang sempurna, banyak kesalahan yang masih menjadi PR kami. Ya, saat itu memang kali perdana bagi murid-muridku melaksanakan upacara peringatan HUT kemerdekaan RI. Semoga upacara perdana ini menjadi awal yang baik bagi kami untuk terus berlatih.



Satu hal, yang membuatku mengharu biru. Ketika Indonesia Raya dinyanyikan dengan jelas dan lantang oleh semua muridku. “Akhirnya mereka hafal lagu kebangsaannya” Ujarku dalam hati.



Kibar merah putih pagi itu menyatukan kami, membangunkan raksasa Siboru yang tertidur lama. Meskipun tanpa kepala sekolah dan hanya diikuti oleh satu guru, kibaran sang merah putih disaksikan oleh komite sekolah dan masyarakat sekitar yang dengan bangga menyaksikan anak mereka memperingati ulang tahun bangsanya.



Bahkan mereka semua (ketua komite sekolah, masyarakat dan pemuda kampung setempat) membantuku dan pak Samori mengadakan lomba untuk anak-anak. Ada lomba makan kerupuk, lomba kelereng, memasukan paku di botol dan lomba sepak bola joget.



“Anak Indonesia…merdeka..merdeka!!” murid-murid YPK Siboru tak henti meneriakan yel itu sambil mengibarkan merah putih berbatang lidi di tangan mereka. Tawa dan semangat anak-anakku menjembatani bersatunya warga kampung (siswa, guru, komite sekolah, pemuda dan masyarakat sekitar) untuk memperingati ulang tahun negri ini. Satu hadiah ulang tahun untuk Indonesiaku: Di bawah kibar merah putihmu, kami bersatu.



Dan saat melihat foto-foto ini, semua letih dan lelahku terbayar lunas.

Note: special thanks for Tht

Monday, August 01, 2011

Seindah novel dunia (Siboru-Fakfak, Papua Barat)




Pernahkah kalian membayangkan kota Forks tempat bella dan Edward Cullen memulai petualangan cinta mereka? sebuah kota yang selalu mendung, cuaca dingin berembun dan hujan senantiasa menyapa setiap hari.

Yup, seperti itulah gambaran Siboru kala musim penghujan menyapanya (musim Timor).


Desa kecil yang merupakan bagian dari kecamatan Fakfak Barat ini memiliki curah hujan cukup tinggi. Meskipun sudah satu bulan aku di sini, tapi tak pernah kusaksikan bulat matahari yang terbit maupun tenggelam. Sang bintang yang amat panas itu selalu tersembunyi oleh tebalnya awan, akan tetapi kau tetap bisa melihat pendaran cahayanya dari balik gumpalan mega mendung itu.



Siboru merupan sebuah tanjung yang merupakan bagian dari kota Fakfak – Papua Barat. Sebenarnya lebih cocok bila disebut pulau, karena satu-satunya penghubung antara Siboru dengan kota Fakfak hanyalah sebuah jalan selebar 10 meter, yang saat ini semakin mengecil dan blm bisa dilalui oleh kendaraan umum. Ruas jalan itu dikelilingi laut sehingga sangat mungkin terjadi abrasi/erosi yg dapat menyebabkan jalan itu terputus, sehingga Siboru menjadi sebuah pulau.





Secara statistic di Siboru terdaftar 82 keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 360 orang. Hampir semua penduduknya bersaudara satu sama lain, mayoritas beragama Kristen, hanya terdapat satu Gereja, satu sekolah dengan beragam suku bangsa. Uniknya di Siboru terdapat kebiasaan untuk memanggil orang dengan nama daerah asalnya. Misalnya Novita dari Ambon maka orang-orang memanggilnya ambon. Ada yang dipanggil Toraja, Bugis, Kei, Biak, Sorong dan untungnya aku tidak dipanggil Jakarta, tetapi dipanggil Kakak Ibu atau mama ibu. Di Siboru hanya guru saja yang dipanggil dengn sebutan ibu atau pak guru.





Sekolah tunggal di sini bernama YPK Siboru, dengan jumlah guru aktif 4 orang (termasuk pengajar muda) maka dari itu perlu keterampilan membelah diri dan multitasking sehingga dapat mengajar secara pararel :P. Meskipun jumlah guru minim, tetapi kebanyakan orang tua di sini telah memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anaknya.

Tanah Siboru merupakan tanah kapur yang tidak terlalu subur untuk ditanam dan system airnya menggunakan tadah hujan. Kami menggunakan air hujan untuk minum, mencuci, MCK dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Mayoritas penduduknya bermatapencaharian berkebun. Untuk ke kebun, mereka harus menggunakan perahu karena kebun berada di pulau-pulau sekeliling Siboru.





Salah satu keindahan Siboru, Ia dikelilingi oleh pulau-pulau perawan yang cantik dan menawan. Saya pernah satu kali ke pulau Ega, salah satu pulau terdekat dari Siboru. Pulau Ega berteraskan batu putih bulat, memiliki tiang-tiang pohon kelapa sebagai hiasannya dan hutan perawan di baliknya. Benar-benar seperti film cast away dengan puluhan agas (nyamuk kecil) yg siap menyerang bila kau berani mengusik hutan mereka.





Saat pergi ke pulau Ega, saya dan keluarga Siboru-ku mencari ikan dan siput, membakarnya dan langsung menyantapnya. Hm….. walau tanpa garam dan bumbu-bumbu, ikan dan siput bakar rasanya enak sekaliiii….. acara piknik kami sore ini diakhiri dengan memunguti kelapa tua yang jatuh di tanah. Kami membawa sampai 12 buah kelapa tua yang siap dibuat santan di rumah.





Saat senja menyapa, Siboru memancarkan warnanya yang berwarnajingga keunguan. Awalnya aku cukup kecewa karena tidak bisa menikmati sunset dengan latar laut tanpa batas yang terhampar tak jauh dari kamarku ini. Namun, desa kecil ini selalu memberikan kejutan keindahan padaku.





Suatu sore aku disajikan proses terbitnya bulan penuh (bulan purnama). Purnama di Siboru amat indah, ia muncul ketika hari masih terang ketika langit masih biru kemerahan dan bentuknya bulat penuh layaknya telur asin. Saat gelap menyelimuti tanjung ini, bulan purnama menjadi hiburan tersendiri bagiku. Aku baru merasakan indahnya purnama dan sangat berartinya terang bulan karena aku diselimuti kegelapan. Saat di Jakarta, bulan purnama terasa terasa biasa saja karena sinarnya tersaingi oleh lampu-lampu jalan. Namun di sini bulan nampak indah nian, cantik tak berperi. Sinarnya dinantikan masyarakat kampung, anak-anak berlari cerah di lapangan dan para pemuda duduk di luar rumah menikmati malam terang bulan.




Saat aku menatap benda langit yg cantik ini, terlintas olehku memori 50 hari lalu dimana aku dan beberapa pengajar muda menyanyikan sebuah lagu:

Jadilah terang jangan di tempat yg terang,

Jadilah terang di tempat yg gelap

Jadilah jawaban jangan hanya kau diam

Jadilah jawaban di luar rumahmu



Jadilah garam, jangan di tengah lautan.

Jadilah jawaban jangan hanya ucapan

Jadilah jawaban jangan tambahkan beban